By Immanuel Sebayang – Sebelum pandemi melanda, saya kedatangan 3 orang teman dari kota yang berbeda. Medan, Jakarta dan Bandung – (Namanya terpaksa saya samarkan, demi kenyamanan mereka). Kebetulan ketiganya berprofesi sebagai “kuli foto” – demikian kami menyebut profesi tukang foto yang memotret apa saja, asal bisa jadi duit.
Waktu kunjungan yang teramat singkat, memaksa saya untuk berpikir keras. Mau dimana kemana kawan yang hobi ” melalak” ini? Melalak, istilah orang Medan, untuk seseorang yang hobinya jalan, nongkrong, makan, jalan lagi, nongkrong lagi, – dan pulang, bukan ke rumah sendiri, melainkan ke rumah teman.
Puas menikmati seafood di kawasan Barelang, kami menyempatkan diri untuk berswafoto di Jembatan Barelang, jembatan ikonik khas Batam, Kepri.
Tak butuh waktu lama untuk mengelilingi Pulau Batam, Rempang dan Galang. Seharian cukuplah. Itupun sudah ditambah dengan mengintip aktifitas nelayan di kampung nelayan.
Jelang sore, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi Pasar Seken Aviari. Di tempat ini, “tamu tak diundang” seperti kerasukan, mengobok – obok semua lapak di Aviari. Hanya 60 menit, para kawan ini sudah menenteng belasan barang-barang khas Aviari. Tas, sepatu, sendal, kaos, dan topi.
Sore menjelang malam, kami menutup hari dengan secangkir kopi susu di Morning Bakery, Greenland. “Rute kita salah. Harusnya pertama kali kita ke Pasar Aviari. Aku kurang puas Wel,” ujar seorang teman, dan disambut tawa teman yang lain.
Obrolan sore itu melebar dari Aviari hingga pasar – pasar seken atau kulakan di beberapa kota besar di Indonesia. Mereka sangat antusias dengan Pasar Seken Aviari.
Sudah kuduga! Ini bukan komentar pertama tamu yang datang ke Batam. Banyak wisatawan lokal yang kaget dengan Pasar Seken di Batam, khususnya Aviari. Kaget dengan barang branded yang dijual miring, dan aneka barang pecah belah yang jarang dijumpai di pasar seken manapun.
Dulu, saya dan beberapa teman-teman pewarta foto pernah berdiskusi dengan Kadis Pariwisata, yang kala itu dijabat Febrialin. Kami sempat melemparkan gagasan agar di Batam, dibuatkan semacam pasar terapung, seperti Pasar Terapung Lok Baintan, Kalimantan. Mungkin bisa pasar sayur mayur, ikan, atau bahkan pasar seken terapung, yang belum pernah ada di belahan dunia manapun.
Pak Febrialin, kala itu terkesima dengan gagasan itu. Beliau mengaku sangat tertarik dengan ide itu, namun teknis pelaksanaannya harus melibatkan dinas terkait, seperti dinas pasar, disperindag dan mungkin, bea cukai.
Gagasan ini bukan tanpa alasan. Mengingat Batam, dan Kepulauan Riau sebagian besar daerahnya laut, yang harus diuruk untuk kebutuhan ruko dan pemukiman.
Padahal, ada banyak teluk dan tanjung, yang potensial untuk dijadikan lahan baru, pada akhirnya dapat dijadikan objek wisata baru yang sangat menjanjikan.
Terus terang, Batam saat ini hanya mengandalkan industri pariwisata. Sementara, industri perkapalan, on shore dan off shore, sudah sangat jauh ketinggalan dengan Malaysia dan Vietnam. Pandemi membuktikan, Batam nyaris luluh lantak tak berdaya.
Sementara itu, objek wisata di Batam, hanya itu – itu saja. Dari jembatan ke jembatan, restauran seafood ke kafe – kafe. Bagaimana dengan pantainya? Masih kalah dengan pantai di Bintan yang banyak dikelola swasta.
Selain kampung nelayan, hanya pasar seken yang jadi objek wisata andalan khusus pemburu foto. Kalaupun wisata belanja, paling hanya ke Nagoya untuk beli tas dan parfum KW.
Dulu, aku berpikir KW itu merk, ternyata istilah untuk barang tiruan. Tiruan 1 atau tiruan 2, beda harga, kata cece penjaga toko.
Sekarang, di Batam sudah banyak spot foto atau objek wisata lokal. Tengoklah di kawasan Bengkong Laut. Suasana malam terasa seperti di Hawaii, atau daerah BSD, Citayam. Hiruk pikuk dengan musik kafe, jedag jeduk.
Untuk anak – anak, di tempat ini ada juga Taman Dinosaurus. Lumayanlah, bisa terhibur dengan patung robot dinosaurus, lengkap dengan musik dan suara dino ala Jurrasic Park.
Bagi konten kreator, tentu saja tempat ini ibarat surga untuk stok konten. Tapi tidak bagi pemburu foto natural.
Setidaknya, seorang Oscar Motulloh, empu pewarta foto tanah air, sudah membuktikannya. Oscar yang beberapa kali singgah ke Batam, betah berlama-lama di pemukiman nelayan dan ex Camp Vietnam.
Batam kekurangan spot foto. Bukan spot cantik dan romantis. Tapi spot foto alami, humanis dan tanpa rekayasa.
Beberapa waktu lalu, bersama kru Socrates Talk, saya berkesempatan mengunjungi studio outdoor di Nongsa Digital Park.
Di tempat ini bangunan ruko diseting sedemikian rupa, mirip kawasan pecinan tahun 80-an. Bahkan di beberapa sudut, ada rumah nelayan lengkap dengan perahu dan jaring.
Naluri fotografi saya meledak-ledak, meski tak sempat terlepaskan. Seandainya saja lokasi ini dijadikan objek wisata, tentu ribuan orang rela mengantri.
Sayangnya, tempat ini terlalu mahal dibuka untuk umum. Saya paham, pemeliharaan dan seting lokasi, membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Bahkan, sebuah kawasan bisa ditata sedemikian rupa, etnik dan natural, bagaimana dengan tempat lain? Tidak adakah di Batam ini, kampung nelayan yang masih asri, ataukah harus ditata ulang seperti di kawasan Nongsa Digital Park? Entahlah…Mungkin, menata ruko dan jalan, lebih menjanjikan daripada melestarikan kampung nelayan. ***
Immanuel Sebayang,
Penulis adalah pewarta foto, pemerhati barang seken, konten kreator, saat ini aktif di Batam Pos.