By Bintoro Suryo – Pemimpin dalam sebuah kelompok, wilayah atau komunitas, selalu ada sejak zaman silam. Contohnya di kepulauan Riau. Selain kisah para raja dan bangsawan di masa kesultanan Riau, ada juga pemimpin wilayah di kelompok masyarakat yang lebih kecil.
Mereka disebut ‘Batin’. Diambil dari para tokohnya yang biasa memiliki ilmu kebatinan lebih tinggi di antara yang lain. Para Batin adalah mereka yang dituakan secara keilmuan. Seperti halnya Raja atau Sultan, posisi Batin di suatu wilayah, biasanya diwariskan secara turun temurun.
Selain pemerintahan pada skala besar berupa Kesultanan, di berbagai daerah di Kepulauan Riau juga tumbuh kesatuan masyarakat politik dengan bentuk pemerintahan adat yang
memiliki otonomi.
Pemerintahan adat ini bahkan terus hidup dan diakui pada masa awal penjajahan Belanda.Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama Marga atau Batin.
Hal itu diatur menurut Ordonansi Desa 1906.
Di wilayah yang maju berdasarkan ordonansi itu, ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum, pengadilan, kepolisian, dan sumber keuangan. Pemerintahan adatnya juga dibantu oleh juru tulis dan Kepala Pesuruh Marga atau Batin.
Rahman, Ketua RW Tanjung Gundap yang saya temui juga mengakui adanya Model pemerintahan adat seperti itu pada masa silam.
Walaupun tidak sama persis karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah, secara umum pemerintahan oleh para Batin dikenal oleh masyarakat Kepulauan Riau, bahkan hingga ke Riau dan Jambi.
“Batin terakhir yang saya ingat di sekitar sini, namanya Batin Bidin”, kata Rahman.
Pada perkembangan selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia, secara umum, pemerintahan oleh para Batin ini mulai diubah menjadi pemerintahan Desa.
Walau begitu menurut Rahman, model dan tata cara pengelolaannya, masih banyak yang mengadopsi pemerintahan batin. Misalnya tentang penetapan para pemimpinnya yang tetap didasarkan pada orang yang memiliki keilmuan/ batin lebih tinggi dan keturunannya untuk memerintah dan dijalankan dengan landasan adat Melayu-Islam.
” seperti itu masih ada di sini sampai pemerintahan zaman orde baru, pak Soeharto. Setelah pak Soeharto itu, tak ada lagi, diganti menjadi lurah. Pemimpinnya dikirim (ditunjuk, pen) oleh pemerintah,” terang Rahman.
(*)
Sumber : bintorosuryo.com
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Videography, photo & visual udara : Bintoro Suryo, Pardomuan N.
Co Host dalam cerita : Hadis Hamzah