By Sulton Yohana – Kota, manusia, kebrengsekan: dan karena itu orang-orang berduyun-duyun ke sana. Siapa yang tak suka berebut kebrengsekan? Bukankah Kita Suci-Kitab Suci kita telah menuliskan keakraban ketiganya?
Kebrengsekan adalah manusia.
Manusia adalah kebrengsekan.
Persengkongkolan keduanya, kemudian melahirkan kota.
Tapi, tidak suci seorang manusia jika tidak mencintai kebrengsekan! Mereka yang suci dan mencintai kebrengsekan, tahu bahwa cinta itu memang tak bisa dihindari. Tahu bahwa cinta itu adalah satu-satunya syarat untuk menjadi suci. Terima saja!. Akrabi saja! Pelajari saja!
Bukankah engkau tidak akan bisa benar-benar mengenal sesuatu, tanpa terlebih dulu jatuh cinta?!
Tapi, kenapa engkau seolah-olah begitu membenci kebrengsekan? Kebencian yang tiga kali sehari kau posting di tembok-tembok rumah indahmu! Sama bencinya engkau dengan rumput yang suka tumbuh di sudut-sudut rumahmu. Di retakan tembok-tembok masjidmu. Di celah paving-paving trotoar buruk kotamu! Di taman-taman halaman kantormu yang kau bangun dari uang nyopet itu!
Kenapa engkau tidak memilih mencintai saja rumput-rumput itu dengan apa adanya!?
Lalu memotong dan membersihkannya sambil mengucap rasa syukur, bahwa rumput itu telah mengingatkanmu atas kebrengsekan yang terus saja kau tanami tiap hari.
Atau, bagaimana jika kita pergi dari kota kita saja? Mencari padang rumput baru, yang kemudian tanahnya akan kita gali dan tanami dengan kebrengsekan-kebrengsekan baru.
Mari kita pergi!
(*)
Penulis : Sulton Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog – ‘Rasa Singapura’