By Sulton Yohana – Saya membayangkan diri saya menjadi pencuri. Memanjat jendela yang selalu terbuka, lalu mengendap-endap masuk ke rumah perempuan itu. Hal pertama setelah berhasil masuk rumah, tentu saja mengobok-obok lemari pakaian – tempat biasa barang-barang berharga disimpan. Siapa tahu emas batangan disimpan di sana? Atau jam Rolex? Segepok duit? Surat-surat berharga?
Tapi, alangkah herannya ketika lemari pakaian sudah terobok-obok. Bukan hanya tidak ada barang-barang berharga yang bisa saya curi. Yang paling membuat saya keheranan, isi lemari pakaian itu cuma ada celana jins (warna biru tua dan hitam) dan kaus tanpa lengan berbahan katun yang biasa dipakai daster ibu-ibu di kampung saya untuk ngadem sambil rasan-rasan!
Itu tok!
Tidak ada kebaya. Tidak ada gaun. Tidak ada legging. Tidak nampak blouse, blazer, kulot, tank-top, apalagi pakaian renang. Ya, hanya jins (warna biru tua dan hitam) dan kaus tanpa lengan berbahan katun yang biasa dipakai daster ibu-ibu di kampung saya untuk ngadem sambil rasan-rasan!
“Perempuan macam apa ini?” ini pertanyaan saya sebagai pencuri, ketika dengan kecewa pergi dari rumahnya tanpa mendapat apa-apa.
Tentu saja angan-angan saya sebagai pencuri cuma sekedar angan-angan. Tapi, ibu yang hanya punya satu jenis pakaian itu, bukan angan-angan. Benar-benar nyata. Dia – saya tak tahu namanya – adalah perempuan yang tinggal di blok sebelah.
Ia, perempuan yang punya satu jenis pakaian itu, ke mana-mana selalu jalan kaki. Dengan menenteng tas ransel (kadang tas sandang kulit), sepatu ket warna gelap, tiap pagi ia akan pergi ke taman di dekat komplek pemukiman kami. Di sana, ia akan duduk di bangku beton di pinggir taman, yang di bawahnya menongol ratusan tiang untuk menjereng burung piaraan. Ia kemudian main HP selama yang ia mau.
Bekas-bekas kecantikan masa mudanya masih belum luntur meski usianya melebihi paruh baya. Tubuhnya masih tegap dan bergas, dan terpenting porporsional. Rambut panjang sepunggungnya, yang selalu diikat begitu saja, masih nampak hitam dan terawat. Kulit wajahnya yang tak pernah tersentuh make-up berlebihan, sama terawatnya.
Sepertinya dia sudah tidak lagi kerja. Hampir saban hari, dalam sepuluh tahun terakhir, saya berjumpa dia. Selain kerap mendapatinya duduk di taman (taman itu sekaligus tempat saya joging), tak jarang kami berpapasan di bawah blok. Atau di pasar. Di mal. Di kantor community club (mirip kantor kecamatan). Atau ketika ia sedang bersama kawan-kawan sebaya, meramaikan acara kegiatan warga. Dan, ya itu tadi…, di mana pun, kapan pun, kegiatan seperti apa pun, ia akan tetap mengenakan pakaian sama: celana jins (cuma warna biru tua dan hitam) dan kaus tanpa lengan berbahan katun yang biasa dipakai daster ibu-ibu di kampung saya untuk ngadem sambil rasan-rasan!
Saya tak yakin dia tak cukup uang untuk bisa membeli jenis pakaian lain. Mengingat merek jins yang ia pilih dan bagaimana ia memadukan pakainnya cukup serasi dan enak dipandang. Sama tidak yakinnya kalau dia tak cukup “intelektual” untuk tahu bahwa pakaian kondangan dengan pakaian untuk berolahraga jelas berbeda. Tapi, kenyataan bahwa ia ke mana-mana dengan hanya memakai satu jenis busana; itu menunjukkan, bahwa perempuan itu penuh misteri.
Sama misterinya kenapa sosok hantu selalu berambut panjang dan berpakaian putih-putih?!?!
(*)
Penulis : Sulton Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog – ‘Rasa Singapura’