By Aswandi Syahri – Sejak tahun 1672, sejarah mengihilir tanpa henti dari Sungai Carang. Sungai Carang yang letaknya di kawasan bersejarah di Hulu Riau atau Riau Lama di kota Tanjungpinang sekarang, adalah salah satu sungai dari empat belas sungai yang pernah bermura ke Sungai Riau. Di Sungai Carang, sebuah peristiwa sejarah mengawali episode-episode sejarah Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, dan bahkan Alam Melayu.
Seperti dicatat dalam Hikayat Negeri Johor, di Sungai Carang itulah pada tahun 1083 H yang bersamaan dengan 1672 M, Laksamana Johor Tun Abdul Jamil membanguan sebuah negeri setelah ditititahkan oleh Sultan Abdul Jalil Syah, Sultan Johor (1623-1677) yang bersemayam di Pahang, untuk membuat sebuah negeri di Pulau Bintan.
Negeri baru yang terletak di Sungai Carang Pulau Bintan itulah yang disebut Riau. Itulah Riau yang sebenarnya. Hulu dari semua peristwa dan nama besar yang menghilir, mengalir ke samudra sejarah kegemilangan Alam Melayu. Tentang peristiwa pembukaan Negeri Riau di Sungai Carang itu, dalam teks Hikayat Negeri Jahor yang ditulis pada tahun 1849 itu, dicatat sebagai berikut:
“Tatkala masa alah Negeri Johor (di Semenanjung) oleh orang Jambi, pada hijrat seribu delapan puluh tiga tahu, syahdan maka Sultan Abdul Jalil Syah Raja Muda semayam di Pahang. Dan Laksamana Tun Abdul Jamil dititahkan ke Bintan, maka Laksamana pun berbuat negeri di Sungai Carang, disebut orang Riau.”
Di Sungai Carang, dalam waktu yang singkat Laksamana Tun Abdul Jamil tidak hanya berhasil membangun kelengkapan untuk menjadikannya benteng pertahanan dengan kelengkapan kapal perang, tapi juga bandar dagang dan ibukota baruKerajaan Johor pewaris kebesaran Melaka. Demikian sejak 1672, dari Sungai Carang, aliran ‘arus sejarah’ menghilir hingga ke muara Sungai Riau. Mengalir jauh hingga ke teluk rantau Riau-Lingga dan daerah takluknya.
Sejak 1672, aliran ‘arus sejarah’ dari Sungai Carang, telah menciptakan titik-tik sejarah yang jejak-jejak masih dapat dilihat dan beberapa diantaranya masih terus memainkan peranan sesuai semangat zamannya.
Jejak-jejak sejarah itu tersebar sejak dari Sungai Baharu, Kota Lama, Kota Piring, Sungai Timun, Batangan, Kampung Melayu, Sungai Payung, Bukit Galang, Sungai Galang, Pulau Biram Dewa atau Kota Piring, Sungai Pulai, Tanjung Unggat, Anak Kuda Pasir, Sungai Terusan atau Terusan Riau, Pulau Bayan, Kampung Bugis, hingga ke Tanjungpinang, Tanjung Buntung, Teluk Keriting Senggarang, dan Pulau Penyengat yang terletak di muaranya.
‘Aliran sejarah’ dari Sungai Carang tidak hanya telah menciptakan toponim Riau, tapi juga menjadi cikal bakal sebuah entitas peradaban Alam Melayu yang puncaknya terjadi pada masa kerajaan Riau-Lingga.
Selain itu, ‘aliran sejarah’ yang menghilir dari Sungai Carang itu sesungghnya juga telah menciptakan Tanjungpinang. Mengapa? Secara historis, tapak sejarah pertama yang dibangun oleh Laksamana Tun Abdul Jamil di Singai Carang, jauh dihulu, bukankan sekedar tempat bertahan yang statis. Seperti aliran airnya, ‘aliran sejarah’ dari Sungai Carang juga menghilir, bergerak keluar untuk menemukan kebaruan-kebaruan. ‘Aliran sejarah’ yang menghilir dari sungai itu adalah sebuah realitas sejarah.
Jika pikiran-pikiran metahistory dipergunakan untuk mencerna sejarah yang mengihilir dari Sungai Carang ini, maka keputusan Raja Haji Fisabilillah menempatkan benteng-benteng utamanya di kawasan yang kini bernama Tanjungpinang, yang berbuah kemenangan ketika menghadapi VOC-Belanda pada 6 Januari 1784, bukanlah sebuah kebetulan.
Tentu, bukan sebuah kebetulan pula bila kemudian Rida K Liamsi dan kawan kawan serta Walikota Tanjungpinang Drs. Muhamad Sani pada tahun 1987 memilih tanggal 6 Januari 1784 tersebut sebagai momentum hari jadi Tanjungpinang.***
Pangkalanrama
Sejak tiga ratus empat puluh satu tahun yang silam, Sungai Carang dan kawasan sekitarnya di Hulu Riau, Tanjungpinang, adalah tempat ‘jantung’sejarah berdenyut. Tidak hanya berperan sebagai pusat emporium dagang, tapi juga menjadi tempat istana-istana megah berdiri pada zaman.
Fakta sejarah itu memang berbanding terbalik dengan realitasnya pada masa kini. Namun demikian jejak arkeologis dan catatan historis yang sampai kepada kita pada masa kini, adalah bukti-bukti yang tak terbantahkan.
***
Setelah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Sultan Johor-Pahang-dan Riau pertama mangkat pada 20 Agustus 1760, Daeng Kemboja yang telah sekian lama menyingkir ke Linggi kembali ke Riau di Pulau Bintan untuk menempati pos-nya sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III: menggantikan posisi Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau II.
Pada masa Daeng Kemboja inilah kerajaan Johor yang berpusat kawasan yang kemudian dikenal sebagai Riau-Lama itu menemukan kembali kemakmuran masa-masa gemilangnya yang sempat hilang. Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis (1865), menggambarkan ramainya Sungai Carang di Hulu Riau dan kawasan di sekitarnya yang penuh sesak dengan perahu dagang dari belahan Timur dan Barat, bertemu dengan wangkang-wangkang Cina yang berjejer rapat seperti ikan yang disusun tindih-bertindih.
Itulah sebuah fase ketika Bandar Riau, di Sungai Carang menjadi emporium dagang. Ketika jejeran wangkang dan keci-keci dagang berbaris rapat sejak dari kualanya hingga ke Kampung Cina. Riuhnya kawasan Sungai Carang di Hulu Riau dan sekitarnya pada abad ke-18, dicatat oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis sebagai berikut:
“Maka negeri Riau pun ramailah dan segala perahu-perahu dagang pun datanglah dari pihak Barat dan Timur. Dan wangkang-wangkang pun masuklah berniaga berlawanan dengan dagang-dagangan dari sebelah Timur itu. Maka perahu teluk rantau pun datanglah membawa dagangan teluk rantau. Penuh sesaklah bercocok ikan, daripada kuala hingga ke kampung Cina.”
Dalam catatan sejarah, inilah salah satu fase gemilang secara politik dan ekonomi dalam sejarah kerajaan Johor-Riau-Pahang yang ketika itu berpusat di sikitar Sungai Carang. Fakta sejarah ini, ditegaskan oleh Raja Ali Haji sebagai berikut: “Maka amanlah Riau pada masa itu, serta banyaklah mendapat hasil-hasil negeri adanya.”
Sebagaimana lazimnya kerajaa-kerajaan Melayu pada masa lalu, kemakmuran itu tidak hanya diukur dengan ‘angka-angka’, tapi juga diperlihatkan dengan kemegahan istana sebagai simbol kebesaran diraja. Demikianlah, Yang dipertuan Muda Daeng Kemboja membangun sebuah istana megah dari batu karang yang ditumbuk pada tempat bernama Pangkalanrama. Letaknya di sebelah kiri mudik ke hulu Sungai Riau.
Sebuah peta lama kawasan milik Belanda di Tanjungpinang Pulau Bintan tahan 1880, (Figuratieve kaart van de Nederlandsche Bezitting op het Eiland Bintang) yang kini berada dalam simpanan Perpustakaan KITLV di Leiden, jelas memperlihatkan lokasi tapak tu di Pangkapanrama yang disebut juga Oud Riouw of Pangkalangrama (Riau Lama atau Pangkalanrama)
Dalam peta langka itu, jelas terlihat bahwa lokasi istana di Pangkalanrama tersebut berdepan-depan dengan muara Sungai Carang yang membentang di sisi kanan Sungai Riau. Berhampiran dengan Kampog Timon (Sungai Tomon) dan muara Sungai Pulai.
Pulau Biram Dewa
Setelah Yang Dipertuan Muda Riau III, Daeng Kemboja, mangkat dalam usia 80 tahun pada 1777, maka pangkat itu kemudian diamanahkan kepada keponakannya, Raja Haji ibni Daeng Celak Yang Diperuan Muda Riau III yang ketika itu berada di Pahang.
Setelah ditabalkan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III oleh Bendahara di Pahang, Datuk Bendahara kemudian mengutus surahan membawa sepecuk surat kepada Sultan Mahmud Ri’ayatsyah di Riau-Sungai Carang “…mengatakan hal Raja Haji ada di dalam Pahang, sudah dilantik di Pahang oleh Datuk Bendahara Tun Abdul Majid.”
Peristiwa yang terjadi pada bulan Desember 1778 itu juga mendapat apresiasi dari Gubernur VOC di Melaka, P.G. de Bruijn, memlalui sepucuk surat felisitasi (surat ucapan selamat) bertarikh 28 Desember 1778. Dari Pahang, Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV kembali ke Riau di Sungai Carang setelah dijemput oleh Sultan Mahmud Ria’ayatsyah yang diiringi oleh Raja Abdulrahman ibni Daeng Kemboja dan Syahbandar Bopeng.
Kembalinya Raja Haji menandai babak baru dalam jejak-jejak sejarah di Sungai Carang. Sejak saat itu, Negeri Riau yang dibuka oleh Laksamana Tun Abduljamil pada 1672, sekali lagi mencapai puncak kemakmurannya sebagai bandar dagang di Selat Melaka.
Fakta sejarah tersebut tidak hanya dicatat oleh kronik-kronik istana seperti Tuhfat al-Nafis, Hikayat Negeri Johor, Siarah Haji Podi, Tawarikh Tok Ngah, dan Silsilah Melayu dan Bugis belaka, tapi juga ditegaskas oleh laporan pedagang-pedagang Belanda dan Inggris yang datang berniaga
Laporan seorang pedagang swasta Ingris (English country trader) yang beraviliasi dengan East India Company (EIC) milik Kerajaan Inggris, James Scott, seperti dikutip oleh Renou Vos dalam Gentle Janus (193:122) antara lain mencatat: “…cukai di Riau (Sungai Carang), meskipun rendah, adalah sumber pendapatan yang baik, jika dibandingkan dengan cukai menakutkan sebesar 12% di Melaka”.
Cukai yang yang kecil adalah salah satu daya tarik pelabuhan Riau, dan sumber kemakmuran zaman Raja Haji, yang menyebabkan labuhannya penuh sesak sengan perahu dagang sejak dari Sungai Carang hingga ke Kampung Cina di Pulau Senggarang.
Apa yang disaksikan oleh James Scott dicatat pula oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis. Menurut Raja Ali Haji, ketika Datuknya Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda, Riau aman dan lebih makmur.
Banyak orang Riau menjadi kaya, seperti Said Husin al-Aidid yang bermastautin di Sungai Timun: Beliau memimiliki sejumlah gudang dan sejumlah perahu yang berulang-alik berniaga ke Tanah Jawa.
Kemakmuran itu ditandai pula dengan banyaknya saudagar Bugis dan Cina dengan Keci dan Wangkang-nya yang berlabuh berjajar dengan perahu Tob yang datang dari Siam.Siarah Haji Podi yang dikutip oleh Raja Haji, juga mencatat fakta murahnya sejumlah komoditi dagang yang menjadi kunci daya tarik pelabuhan Riau di Sungai Carang. “Sebab itulah menjadi makmur negeri.”
Catatan dalam Siarah Haji Podi, dapat disanding-bandingkan dengan penjelasan dalam Tawarikh Tok Ngah yang menyebutkan: “…banyaknya orang di dalam sungai negeri Riau (di Sungai Carang) sembilan laksa…lapan ribu Bugis di Sungai Timun, dan dua ribu di Pulau Biram Dewa…”
Sebagai mercu tanda kemakmuran itu, Raja Haji juga membangun istana dengan sebuah balairung berdidinding cermin di Pulau Biram Dewa. Letaknya persis di pertemuan muara Sungai Galang Besar dan Sungai Galang Kecil yang berhampiran dengan Sungai Sungai Carang.
Istana itu dikelilingi dengan pagar tembok atau kota dari batu karang ditumbuk yang kemudian ditatah dengan pinggan dan piring serta berhiaskan bocong pada bagian atasnya. Itulah pangkal mula Pulau Biram Dewa masyhur dengan sebutan Kota Piring.
Selain di Pulau Biram Dewa, Raja Haji juga membangun sebuah istana yang tak kalah mewahnya untuk kediaman Sultan Mahmud Ria’ayatsyah di Sungai Galang Besar. Perhiasan kedua istana ini dari emas dan perak. Termasuk rantai-rantai setolob (lampu gantungnya) terbuat dari perak. Bahkan, pada bagian pantat semua pinggan mangkuk dan cawan kahwa istana itu, yang dipesan khusus dari Cina, tersurat nama Pulau Biram Dewa menggunakan air emas.
Aswandi Syahri, adalah sejarawan Melayu dan Kepulauan Riau, tinggal di Tanjungpinang.