MELIHAT situasi dan kondisi ekonomi, politik dan keamanan di Selatpanjang yang semakin kacau, Muljadi memutuskan merantau ke Tanjungpinang pada akhir tahun 1965. Ia memilih ke Tanjungpinang karena beberapa alasan. Saat Muljadi tiba di Tanjungpinang, penduduk kota itu, terutama yang tinggal di sisi pelantar dan dermaga mayoritas diisi oleh orang Tionghoa.
Kedatangan etnis Tionghoa ke Tanjungpinang diawali ketika bangsawan Melayu dan Bugis Daeng Celak, mendatangkan orang-orang Tionghoa secara besar-besaran dari Melaka untuk dijadikan buruh perkebunan gambir di kawasan Senggarang. Sedangkan kota Tanjungpinang menjadi pusat pelabuhan, sekaligus pusat administrasi yang menyediakan sarana dan prasarana untuk pengiriman-penerimaan barang serta gudang untuk menyimpan hasil bumi dari Senggarang. Populasinya berkelanjutan pada masa kedatangan Muljadi ke kota itu.
Orang-orang Tionghoa yang tinggal di Kota Tanjungpinang saat itu umumnya bekerja sebagai pedagang. Perdagangan masyarakat Tionghoa membawa dampak yang sangat besar bagi perekonomian di kota Tanjungpinang. Mulai dari toko kebutuhan sehari-hari, toko bangunan, perusahaan swasta dan lain sebagainya, banyak didominasi warga etnis Tionghoa di kota ini. Mereka mewarisi keterampilan berdagang secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Saat kedatangannya ke kota Tanjungpinang, beberapa teman baik Muljadi, sudah lebih dulu pindah dari Selatpanjang ke kota ini. Hal ini semakin memantapkan hati dan tekadnya untuk mencoba mengadu nasib dan mencari peluang pekerjaan di Tanjungpinang. Muljadi muda saat itu, tidak merasa asing karena banyak teman untuk berbicara dan bertukar pendapat. Awal berada di Tanjungpinang, ia tinggal di seputaran Jalan Merdeka.
Pada masa itu, mata uang utama yang digunakan dalam perdagangan dan transaksi bisnis di Tanjungpinang adalah Dollar Singapura. Ini berbeda dengan daerah dan wilayah lain di Indonesia yang menggunakan mata uang Rupiah. Kedekatan Tanjungpinang dan Singapura dan eratnya hubungan ekonomi keduanya, membuat warga lebih nyaman menggunakan mata uang Dollar Singapura.
Hal lain yang membuat hati Muljadi tenang berada di kota Tanjungpinang adalah karena kota ini dijadikan markas Angkatan Laut Republik Indonesia, tidak anti Cina dan lebih moderat. Pada masa itu, banyak warga Tionghoa yang berasal dari Medan, lebih suka datang ke Tanjungpinang untuk berdagang dan berbisnis.
Kelak di kemudian hari, Muljadi muda menjadi lebih dekat dengan aparat militer dari Angkatan Laut di Tanjungpinang hingga bersentuhan bisnis valuta asing dari kota ini.
“Ada banyak peluang untuk menghasilkan uang di sini. Ibukota provinsi Riau ini adalah kota yang damai, saya suka kota ini”, tulis Muljadi di catatannya.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Merantau ke Tanjungpinang | Masa Belia, Masa Merintis Usaha – MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My… […]