SEBONG dan Pereh, dua kampung yang sekarang disatukan, punya cerita masa lalu yang lumayan panjang. Dua kelompok warga dengan dua kebiasaan hidup berbeda itu, mulai berinteraksi dan berbaur setahun setelah Indonesia merdeka.
Oleh : Bintoro Suryo
Sebelumnya, sekitar tahun 1897, sebuah pemukiman baru dibangun di sekitar hulu sungai Pereh di kawasan ini. Pemerintah kolonial Belanda saat itu, memindahkan warga yang tinggal di sebuah kampung bernama Buluan ke wilayah itu. Kampung Buluan merupakan kampung lama, lokasinya berada di sisi sungai antara desa Kuala Sempang dan Desa Sebong Pereh saat ini. Kampung baru yang dibangun ini disebut kampung Pereh, disesuaikan dengan nama sungai yang ada di sana. Sebagian warganya hidup dari ladang-ladang dan berdagang. Mereka dikenal dengan cara hidup yang lebih agraris.
Ada sekitar 40 KK awal yang mendiami kampung baru itu. Rata-rata merupakan suku Melayu dan kaum Tionghoa pendatang. Seorang tetua bernama Kundang, kemudian didaulat untuk menjadi Batin di kampung tersebut. Orang biasa memanggilnya dengan sebutan Batin Kundang.
Sepuluh kilometer agak ke utara, Sebuah perkampungan kecil lainnya juga sudah berdiri di sekitar wilayah ini. Di kampung pesisir pantai dengan kehidupan yang bergantung dari laut, konon dibuka oleh seorang warga dari suku laut bernama Sebong. Kampung di pinggir pantai itu, kelak disebut sebagai kampung Sebong.
“Yang datang ke sini pertama kali itu, Sebong, seorang suku laut. Dia yang membuka kampung di pinggir pantai ini. Beberapa tahun kemudian, datang lah Sudin bin Jamaluddin yang ikut membuka kampung ini”, ujar Syamsul Kamal.
“Itu Datok saye, die lari dari Daik, tak tahan dengan kehidupan istane, lalu mendarat di sini,” cerita Atan, pria berusia hampir 60 tahun yang duduk di samping saya dan Syamsul. Ia keturunan Sudin bin Jamaluddin yang diceritakan ikut membuka kampung Sebong seratusan tahun silam.
Saat itu menurut Atan, pesisir Utara Bintan ini belum bernama. Namun sudah ada beberapa kelompok orang yang mendiaminya. Mereka terdiri dari suku laut yang terbiasa hidup dalam nuansa bahari. Rata-rata berasal dari perairan Senayang yang datang secara musiman. Apabila musim utara, mereka kembali ke daerah asalnya dan jika musim angin timur, selatan dan barat, mereka datang lagi ke pesisir wilayah itu.
Di pinggir pantai ini terdapat juga beberapa Kepala Keluarga suku Cina dan pendatang suku melayu dari semenanjung Malaya (Malaysia).
Namun secara umum, budaya Tionghoa mendominasi di wilayah pesisir tersebut.
“Atok saye, Tok Nurdin tu, tak tahan dengan kehidupan di lingkungan istane yang sebenarnya di bawah kuasa Belanda, melarikan diri dan tibe lah di sini”, lanjut pak Atan.
Sementara warga bernama Sebong yang pertama kali membuka kampung ini, kemudian didaulat menjadi ‘Tok Juru’, julukan pemimpin kelompok atau ketua suku bagi warga yang mendiami kawasan pesisir tersebut sejak tahun 1909.
“Pada tahun 1918 Tok Juru Sebong meninggal dunia. Berturut-turut kemudian menurut pak Atan, tampuk kepemimpinan ketua suku di wilayah ini dipercayakan pada Tok Juru Wahid sampai dengan tahun 1924, terang Syamsul.
“Kemudian Tok Juru Wahid meninggal dunia diganti dengan Tok Juru Munsang”, cerita pak Atan bersemangat.
Di masa kepemimpinan Tok Juru Munsang lah, wilayah pesisir ini kemudian diberi nama kampung Sebong, diambil dari nama Tok Sebong yang didaulat pertama kali sebagai pemimpin warga di wilayah pesisir Utara Bintan itu.
Sementara itu di bagian dataran yang lebih tinggi, di kampung Pereh, kepemimpinan Batin Kundang berlangsung hingga tahun 1944.
“Penggantinya adalah Batin Paw sampai tahun 1946. Kemudian, Batin Paw diganti dengan Batin Gagak yang berasal dari kampung Sebong ni lah”, tutur pak Atan.
Di era Batin Gagak menurut pak Atan, mulai terbuka hubungan sosial dan interaksi yang lebih dalam di antara warga di kampung Pereh yang berada di bagian atas dengan warga yang mendiami kampung Sebong di bagian pesisir pantainya.
Warga Kampung Pereh mulai turun ke laut untuk membuka kebun baru, diantaranya kebun kelapa dan karet di sekitar wilayah kampung Sebong. Penyebutan nama kampung juga mulai disatukan menjadi kampung Sebong Pereh.
Karena yang berkuasa adalah Batin Gagak yang berasal dari kampung Sebong, pusat pengelolaan kampung juga berpindah ke pantai.
“Berturut kemudian, batin Gagak diganti oleh Batin Tembek tahun 1957, kemudian batin Tembek diganti oleh Batin Kepal. Mase batin Kepal, sebutan tak batin lagi, tapi sudah penghulu”, ujar pak Atan.
Pada tahun 1968, Penghulu Kepal diganti dengan Muhammad Sulung yang diberi gelar Kepala Kampung hingga tahun 1971. Muhammad Sulung kemudian diganti dengan Abdul Djalil yang mengelola kampung Sebong Pereh dengan status desa. Jabatannya bukan lagi penghulu, tapi Kepala desa. Ia memerintah hingga tahun 2010.
“Wah, pak Atan masih hapal cerita dan urutan dari awalnya ya”, kata Sania takjub mendengar cerita pak Atan.
“Ya lah, siape lagi yang nak mengingat ni, takutnya hilang tertelan zaman”, kata pak Atan sambil tertawa.
Walau terletak tidak terlalu jauh dari lokasi Tanjung Uban, akses darat dari Sebong Pereh ke kota tua itu masih ditempuh menggunakan jalur laut hingga dekade 70 menjelang 80-an.
Menurut Syamsul Kamal yang lahir di kampung ini, akses darat berupa jalan setapak, baru mulai dirintis pada dekade 80-an menuju kota Tanjung Uban.
“Itu jalan kaki kalau mau ke Tanjung Uban. Baru pada era 90-an, warga ke Tanjung Uban ada yang pakai sepeda. Belum sepeda motor, masih sepeda kayuh”, kata Syamsul mengenang masa-masa lalunya.
“Tahun 1995-an, baru mulai ada yang pakai motor untuk dipakai ke Tanjung Uban. Itu rata-rata yang orang China karena mereka lebih mampu”, lanjut Syamsul.
Saat ini ada tiga jalur yang bisa digunakan untuk menuju ke desanya. Selain jalur tengah yang merupakan jalur lama yang menghubungkan Tanjung Uban dan Tanjung Pinang, akses ke desa ini juga bisa ditempuh melalui jalur lintas barat dan di bagian pesisir Utara yang langsung bersisian dengan pantainya yang indah.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com