‘’Minumlah angin Barat Laut. Nasib dan kehidupan seseorang, sering kali menuju ke sebuah periode, ketika tidak ada jalan lagi.. ” tulis Muljadi dalam catatannya.
MULJADI muda adalah seorang pelaut. Di kalangan pelaut, mereka mengenal angin barat yang berhembus sangat kencang dan kuat. Pada musim angin barat, para nelayan tidak turun ke laut lepas. Kecuali para pelaut dengan kapal-kapal yang berbobot lebih besar. Namun, itu juga perlu berhati-hati saat berada di tengah laut.
Muljadi muda dan rekan-rekan kerap mengalami hal ini. Tiba-tiba datang angin kuat, mereka kemudian memilih berlindung di balik pulau terdekat sampai angin reda. Para pelaut seperti Muljadi, juga harus berhati-hati agar kapal mereka tidak sampai kandas diterpa angin kuat dan gelombang besar.
Muljadi mengibaratkan, kehidupannya, bagaikan dilanda angin barat laut. Sejak kapal dilarang berlayar dan surat tugas diambil lagi oleh markas Angkatan Laut, Muljadi kehilangan pekerjaan. Semua teman-temannya kembali ke kampung halaman masing-masing.
Saat kondisi seperti itu, tidak ada yang bisa dilakukannya. Bisnisnya tidak jalan. Muljadi terpaksa tinggal di rumah pacarnya, Lusi, untuk sementara waktu. Karena tidak punya uang, hari-hari Muljadi hanya makan mie goreng atau mie sagu sampai akhir tahun 1966. Pada akhir tahun itu, Muljadi sempat mencari-cari alasan untuk bisa membawa pacarnya, Lusi, ke Selatpanjang. Tapi, kakek dan nenek Lusi di Tanjungpinang tidak setuju.
Anak perempuan Muljadi, Merry mengisahkan cerita Muljadi yang pernah disampaikan kepadanya. “Kata Kakek saya, kalau kamu (Muljadi) melamar anak saya dia mau dibawa kemana? Kalau ke Selat Panjang tidak boleh” ujar Merry.
Tidak kehabisan akal, Muljadi mengiyakan terlebih dahulu syarat dari Ayah Lusi untuk tidak membawanya ke Selat Panjang saat mereka menikah nanti.
Muljadi yang tidak kehabisan akal. Ia berdalih ingin menjenguk kedua orang tuanya bersama sang kekasih. Saat itu, Muljadi dan Lusi sudah bertunangan. Ia akhirnya berhasil membawa calon isterinya ke kampung halaman di Selatpanjang. Namun kondisinya saat itu sedang jatuh miskin.
Selama berada di rumah Muljadi di Selatpanjang, tunangannya, Lusi, tidak pernah mengeluh dengan kondisi yang ada. Sumber air misalnya. Rata-rata air sumur di sana untuk keperluan mandi dan memasak tidak bening. Warnanya lebih kekuning-kuningan. Lusi yang tidak pandai memasak, juga tidak segan-segan ikut ke dapur dan belajar bersama keluarga Muljadi. Tak heran, keluarganya menyukai wanita pilihan Muljadi itu. Terutama saudara perempuan Muljadi. Ia sangat menyayangi Lusi.
Pada bulan Agustus 1967, Muljadi dan Lusi akhirnya menikah di Tanjungpinang. Setahun kemudian, anak laki-laki pertama pasangan ini lahir. Mereka memberinya nama Alim Muljadi. Keluarga kecil ini lalu pindah ke Selatpanjang pada tahun 1968 untuk memulai kehidupan baru dalam rumah tangga mereka.
Di Selat Panjang kehidupan pasangan muda itu sulit. Anak pertama mereka, Merry yang mendapat cerita dari sang Mami, Lusi menyebut, kehidupan pasangan Muljadi dan Lusi menjadi lebih berat bagi wanita itu karena sebelumnya ia adalah anak dari orangtua yang berkecukupan. Namun setelah menikah, ia justeru harus tinggal di kampung dengan kehidupan yang lumayan miskin.
Pada saat itu mereka kesulitan untuk mendapatkan listrik, masih menggunakan air sumur, dan rumah yang berdindingkan kayu. “Mami saya bilang, kalau saya tidak sabar dan tidak cinta Papi kamu, itu saya sudah kabur pulang.” Kata Merry menceritakan kembali ucapan sang Mami.
Kehidupan sang isteri di kampung halaman suaminya itu terasa menjadi lebih berat, ketika Muljadi harus meninggalkannya di sana untuk bekerja dan mencoba peruntungan bisnis di luar kota. Meski begitu, untungnya Lusi tidak sendiri, karena masih ditemani kedua adik ipar dan ibu mertuanya yang baik.
Sampai akhirnya lahirlah Merry, anak kedua pasangan Muljadi dan Lusi di Selatpanjang. Tidak berselang lama, dalam jangka waktu satu tahun, lahir kembali anak ketiga pasangan itu yaitu Princip. Karena keadaan yang sulit waktu itu, pada akhirnya Princip yang baru berusia 6 bulan dititipkan kepada neneknya di Tanjung Pinang hingga usianya tiga tahun. Berselang satu tahun kemudian setelah kelahiran Princip, lahir kembali anak mereka yang kembar, anak keempat da kelima yang diberi nama Mariana dan Mariani pada tahun 1973.
“Saat itu keadaan masih sulit di Selatpanjang. Papi jarang pulang karena sedang bekerja di luar daerah. Nenek mengusulkan untuk memberikan adik saya Mariana kepada orang lain. Tapi ketika Papi pulang, mendengar hal itu membuat beliau marah dan mengatakan bahwa anak- anaknya tidak boleh diberikan kepada orang lain, dan ia harus menjaganya sendiri.” Ucap Merry.
Hebatnya, Lusi terus bertahan hingga bertahun- tahun lamanya bersama Muljadi melewati semua kesulitan hidup.
[…] Selanjutnya : Merintis Bisnis Kapal | Kembali ke Selatpanjang– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey… […]