BISNIS pengiriman barang dengan kapal kargo di Riau berkembang pesat di akhir dekade 1960-an hingga 1970-an. Dalam sehari, kapal-kapal yang beroperasi di Selatpanjang bisa mengirim barang dari Singapura hingga beberapa kali. Termasuk kapal yang dikelola oleh Muljadi. Selain memiliki koneksi dan hubungan baik dengan berbagai pihak, ia mendapat kepercayaan dari para importir saat itu. Ditambah lagi, mertua Muljadi juga dikenal sebagai pedagang sukses di Tanjungpinang.
“Pada saat-saat tertentu, saat kondisi lautan tidak aman karena faktor cuaca, kapal kargo kami berhenti berlayar untuk sementara. Ketika situasi dan kondisi aman, kapal berlayar kembali dan berangkat ke pelabuhan tujuan. Kadang-kadang, untuk menghindari kapal patrol Bea Cukai, kapal sengaja jalan memutar dan menghindar”, tulis Muljadi dalam catatannya.
Pada suatu hari, kapal kargo Muljadi yang berlayar dengan muatan penuh, mendadak membentur batu karang di tengah laut. Ini terjadi karena kapten kapal tidak menguasai rute yang dilalui.
“Bagian bawah kapal berlubang. Air laut dengan cepat masuk melalui lubang dan membanjiri kapal. Seluruh kru dan anak buah kapal, sebagian warga Indonesia, sebagian warga Tionghoa mulai panik”, cerita Muljadi.
Meski saat itu ia masih tergolong berusia muda, Muljadi bisa menunjukkan kemampuan untuk memimpin langkah-langkah dan upaya penyelamatan agar bisa bertahan hidup. Mereka menyiapkan rakit dari drum-drum kosong yang ada di lambung kapal. Tidak ada sekoci di kapal kargo itu. Upaya darurat dilakukan agar mereka bisa terapung di tengah laut. Sementara kapal kargo yang menjadi andalan usaha mereka, secara perlahan akhirnya karam .
Drum kosong yang diikat-ikat itu menjadi penyelamat bagi Muljadi dan rekan-rekannya di tengah laut. Mereka juga sempat membekali diri dengan biskuit dan minuman ringan yang merupakan barang bawaan di kapal kargo agar bisa bertahan hidup di tengah laut.
“Beberapa awak kapal lainnya, melompat ke laut, berpegangan pada rakit drum dan mengepak-ngepakkan kaki menjauh dari kapal”, katanya.
Kapal kargo itu pelan-pelan tenggelam. Lebih dua jam, semua awak kapal terapung-apung di laut. Bertahan sekuat tenaga. Berjuang antara hidup dan mati. Muljadi dan awak kapal lainnya, berusaha mendorong rakit darurat dari drum kosong itu menuju pulau kecil yang tampak seperti setitik harapan di tengah keputusasaan. Ini untuk menghindari agar jangan terlalu lama mengambang di tengah laut.
Untunglah, nasib baik masih berpihak pada Muljadi dan awak kapal yang karam itu. Sebuah perahu nelayan yang penuh muatan, menemukan Muljadi dan awak kapal kargo yang terapung-apung di laut. Kapal nelayan itu semula bertujuan ke Moro, Karimun. Kapal nelayan itulah yang akhirnya mengantarkan Muljadi dan awak kapal karam lainnya kembali ke Selatpanjang. Meski berhasil selamat dari musibah kapal mereka yang karam, semua barang dagangan hilang. Semua jerih payah mereka seperti sia-sia. Uang dan barang lenyap ditelan laut. Semuanya harus dimulai lagi dari nol.
Beberapa hari kemudian, usai peristiwa karamnya kapal sewaan mereka, beberapa teman-teman Muljadi menyarankan agar mereka berlayar lagi ke Tanjungpinang.
‘’Saya sangat takut mendapat tawaran ini. Omset bisnis kami hancur. Uang kami belum dibayar. Sedangkan saya masih berutang pada pedagang di Riau. Saya berpikir, bagaimana membayar utang,’’ tulis Muljadi dalam catatannya.
Namun, beberapa pengusaha mitra Muljadi memahami masalah yang dihadapi Muljadi karena kapalnya karam dan tenggelam ke dasar laut. Mereka tidak mempermasalahkannya saat dilaporkan kronologi kejadian. Muljadi kemudian dipercaya lagi mengangkut 100 ton gula dan barang-barang lain. Ia kembali bisa berlayar.
Tapi, perdagangan dan pengiriman barang dengan kapal yang baru digunakannya itu, hanya berlangsung sebentar saja. Terjadi lagi larangan perdagangan melalui rute laut. Mau tidak mau, usahanya kembali terhenti. Tidak ada pendapatan seperti yang selama ini diperoleh dari keuntungan perdagangan antar pulau. Muljadi kembali ke masa-masa sulit. Ia harus hidup hemat.
Perisitiwa kapal karam yang kedua, dialami Muljadi pada akhir tahun 1972. Seorang rekan bisnisnya, memiliki sebuah kapal dengan kapasitas 160 ton. Kapal berukuran sedang itu, tidak cocok berlayar untuk rute ke Jakarta dan pulau Jawa. Tapi bisa melayari pulau Sumatera dan sekitarnya. Saat itu, kapal itu berlayar di kawasan Sumatera dan Malaysia.
Suatu ketika, Muljadi berlayar dalam perjalanan menuju Palembang, Sumatera Selatan. Malam saat peristiwa, cuaca buruk. Hujan deras sekali. Sekitar pukul 22.00 malam, badai besar datang. Suasana malam sangat mencekam. Kapal kargo yang dibawa oleh Muljadi terombang-ambing dan dihantam gelombang serta badai.
Kapal kedua yang digunakannya untuk berusaha, mulai tenggelam di sekitar perairan kepulauan Bangka Belitung. Jumlah awak kapal termasuk Muljadi, sebanyak 16 orang. Awak kapal kemudian diperintahkan naik ke sekoci. Tapi, kondisi sekoci yang kecil dan hanya memungkinkan memuat dua orang, membuat mereka harus berbagi tempat di tengah badai yang perlahan mulai menenggelamkan kapal. Dua orang naik ke sekoci, dua orang lainnya berpegangan di kedua sisinya. Sementara enam orang awak kapal lainnya, menyelamatkan diri dengan rakit darurat. Bagaimana nasib Muljadi?
‘’Saya menangkap bagian atas kapal yang pelan-pelan mulai tenggelam ke dasar laut. Berpegangan di bibir kapal dan terus bertahan sampai pagi,’’ kenang Muljadi. Nasib baik masih berpihak padanya pada peristiwa kedua itu.
‘’Saya orang pertama yang ditemukan nelayan yang membantu saya menyelamatkan diri. Beruntung, awak kapal lainnya juga berhasil diselamatkan,’’ katanya lagi. Nelayan yang menyelamatkan Muljadi, kemudian mengantarkannya dan awak kapal lain ke sebuah pulau kecil.
Di pulau itu, mereka bertahan hidup selama satu minggu. Keluarga Muljadi, tidak tahu apa yang terjadi. Semua komunikasi putus. Seminggu kemudian, ia dan awak kapal lain, akhirnya bisa kembali ke Selatpanjang.
Muljadi sering teringat pengalaman pahit, kegagalan demi kegagalan dalam perjalanan hidupnya. Kadang-kadang, ia merasa tak berdaya dan nyaris putus asa mengingat pengalamannya dalam memperjuangkan hidup dan keluarga.
Pada kisah yang sama, Muljadi juga bercerita kepada anak perempuannya, Merry, tentang bagaimana ia bertemu dengan orang baik hati ketika tengah berdagang barang- barang demi mencukupi kebutuhan keluarga.
“Menurut Papi, selama hidupnya ia selalu bertemu dengan banyak orang- orang yang baik hati yang membantunya dalam berbisnis. Salah satunya adalah orang yang memperbolehkannya untuk membawa barang dagangannya terlebih dahulu, setelah nanti barang tersebut laku, baru pembayaran dapat dilakukan di akhir. Padahal, sesungguhnya barang- barang tersebut haruslah dibeli terlebih dahulu, sebelum dijual”, terang Merry.
“Saat barang dagangan harus dibuang dari kapal yang tenggelam itu, barang- barang yang dibuang tersebut, sebenarnya merupakan barang dagangan yang masih belum dibayar. Pada saat harus dibuang ke laut, seluruh barang itu hilang, dan itu terhitung berhutang. Papi berjanji untuk melunasi, sehingga setelah kejadian itu, ia makin bekerja banting tulang untuk melunasi hutang- hutang tersebut.” ungkap Merry menceritakan kembali cerita sang Papi.
Lain kesempatan, Muljadi juga menceritakan kisahnya pada peristiwa kedua tenggelamnya kapal yang dikelolanya pada puteri pertamanya itu.
“Dari cerita- cerita Papi itu, tidak ada yang kami bisa alami. Karena kami semua (anak- anaknya) sudah diberi kenyamanan yang luar biasa.” Ujar sang puteri, Merry.
Peristiwa tenggelamnya kapal yang dikelola oleh Muljadi, juga diingat oleh anak sulungnya, Alim Muljadi. Menurutnya, ia masih kecil saat itu dan tinggal di Selatpanjang. “Tenggelam beberapa bulan tidak pulang, tiba- tiba pulang. Tidak ada kabar, ketika tahu selamat terus pulang ke rumah. Masih kecil saya di Selat Panjang,” ujar Alim. Alim kecil tidak mengetahui betul apa yang terjadi pada sang Papi saat itu. Dari cerita neneknya, Alim hanya tahu bahwa ketika kapal tenggelam, berarti itu adalah kabar buruk.
Selanjutnya : Ayah Meninggal Dunia | Kembali ke Selatpanjang– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 18)
[…] Selanjutnya : Kapal Karam Dua Kali | Kembali ke Selatpanjang– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey … […]