Tambang timah tak ada lagi. Dabo Singkep seolah terjaga dari mimpi. Mimpi itu jadi kenyataan buruk setelah tak lama kemudian, pasir pun dikeruk. Pulau Singkep seperti dikelupas dan diobrak -abrik. Kolong-kolong makin menganga. Tanah menjadi danau yang sambung menyambung.
Di Dusun Pengambil Desa Kuala Raya, pasirnya diambil dan membuat pengusaha kaya raya. Sedikitnya, ada enam perusahaan pengeruk pasir beroperasi di sini. Truk-truk pengangkut pasir menderu-deru menyisakan abu berwarna kelabu.
Guratan kemiskinan sangat kentara dalam kehidupan warga Pengambil. Rumah semi permanen hanya satu-satu. Selebihnya, didomi-nasi rumah panggung beratap rumbia dan berdinding papan seadanya. Tak tampak warga menikmati kekayaan negerinya berupa timah, kayu dan pasir. Mayoritas warga bekerja sebagai nelayan.
Berkubik-kubik pasir digali setiap hari. Caranya, dengan sistem bor yang disebut warga dengan ”tembak”. Dengan menggunakan mesin press dan alat yang disebut monitor, pasir diisap dan dialirkan ke bak pencucian. ”Katanya kedalamannya hanya 4-6 meter, kadang bisa lebih,” ungkap seorang warga.
Danau-danau atau kolong makin menganga lebar. Daun pepo-honan berubah warna menjadi putih kelabu tersiram debu. ”Kalau ada pejabat yang datang, debu di jalan disirami,” ujar warga tersebut. Sisa pencurian pasir yang bercampur lumpur, mengalir lewat sungai ke muara. Akibatnya, pantai menjadi kian dangkal. ”Dulu lumpurnya hanya semata kaki, kini sudah mencapai sepinggang orang dewasa. Jangankan mendapat kepah (kerang), kulitnya saja tak ada lagi,” ka-ta Rahman, warga desa Pengambil.
Bahkan dampak limbah lumpur itu menghantam jauh ke tengah laut, dan menerpa laut tempat kelong-kelong (bagan) nelayan yang ada tak jauh di perairan itu, seperti di sekitar Pulau Berlas. Hasil tang-kapan nelayan menajdi terus menyusut.
Meski beroperasi di dusun mereka, tidak mudah bagi warga setem-pat bekerja di sana. Sebab, selain tidak banyak butuh tenaga, perusahaan pasir itu lebih memprioritaskan orang sendiri. ”Melamar menjadi supir saja susahnya setengah mati. Malah, ada yang dipecat dengan alasan proyek selesai. Ternyata mereka pindah ke lokasi lain,” ujar Julizar, pemuda setempat.
Menurut warga yang bekerja di perusahaan pasir itu, pasir yang dikeruk dan dijual ke Singapura memang tidak tanggung-tanggung. Sebuah perusahaan tambang pasir mendapat lahan 50 hektar. Maka, tidak heran kalau lubang bekas galian pasir menganga lebar. Ganti rugi tanah penduduk yang digarap perusahaan penambangan pasir hanya Rp200 per meter. ”Kami disuruh tandatangani surat pernyataan ganti rugi tanah,” tutur warga Pengambil.
Hitung-hitung, satu buah kapal tongkang yang mengangkut pasir untuk dijual di Singapura, bermuatan 320 sampai 350 truk pasir. Da-lam satu truk, berisi 7 m3 pasir. dalam sebulan, ada sekitar 14 trip tug boat yang berlayar mengangkuti pasir. ”Manifes pelayaran peng-angkutan pasir hanya 12.000 m3. Namun yang diangkut mencapai 20.000 m3,” ujarnya.
Warga menduga, meskipun kecil, pasir yang dikeruk masih me-ngandung timah. tambang terbuka tak bisa ditutup seluruhnya. PT Timah menggunakan pola gali tiga, tutup dua. Kalau tambang pasir, dengan apa mau ditutup lubangnya. ”Dengan kedalaman 10-15 meter timahnya terbawa, Singapura kan nggak bodoh,” kata Murjani, mantan karyawan timah yang banyak pengalaman menangani ling-kungan penambangan timah.
Laut dan muara sungai tercemar oleh limbah pasir. Pantai menjadi dangkal, dampak paling teruk dirasakan oleh nelayan. Padahal, hanya pada musim Selatan nelayan bisa melaut. Di Dusun Pasir putih Desa Marok Tua, bakal berdiri pula perusahaan penambangan pasir. Di sekitar perairan desa paling ujung di Singkep itu, sudah diberi pembatas dan akan dikeruk untuk memudahkan dilewati tug boat.
Pulau Lalang merupakan ”lumbung ikan” bagi nelayan. Kini, pulau tersebut terancam akan ditinggalkan ikan, jika limbah tambang pasir akan menyebar ke sana. Tetap saja nelayan yang merasakan akibatnya. Namun mereka tak tahu harus berbuat apa.
Konon, industri pasir dilakukan sebagai industri pemancing di Singkep paska timah. Maksudnya, agar kelak ada investor lain yang mau masuk ke sana. Misalnya, kelak bekas kolong yang menganga itu dapat dijadikan tempat memancing dan disekitarnya akan dibangun hotel. Namun sampai saat ini, baru sebatas rencana. ”Yang terjadi, umpan habis ikan pun tak dapat,” kata Mustafa, seorang pengusaha di sana.
Tak hanya pasir, kayu-kayu pun dirambah. Belasan kilang papan beroperasi di Pulau Singkep. Tersebar di berbagai desa. Dua di antara kilang papan itu bermarkas di hulu sungai Marok Tua. Diduga, kayu-kayu di hutan lindung Gunung Lanjut dan Gunung Muncung, ikut dibabat. ”Padahal, di situ ada sumber air minum yang bernama Air Gemuruh,” papar Murjani, prihatin. Jadi, tidak aneh kalau warga mulai kesulitan air bersih.
Masyarakat di sekitar lokasi penambangan pasir bukan tidak ber-usaha memaksa perusahaan untuk memperhatikan pencemaran. Bahkan di Desa Pengambil dan Raya, mereka pernah berunjuk rasa. Ratusan orang datang mendesak perusahaan agar menghentikan penambangan yang merusak sumber usaha mereka. Pihak perusa-haan menanggapi, dengan antara lain memberi uang kompensasi. Tiap warga yang ada di sekitar lokasi mendapat dana sekitar Rp250.000 sebagai uang prihatin. Tetapi, uang secuil itu kemudian habis. Singkep kini, memang bak kata pepatah. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. ***