By Socrates –Meratapi dampak kerusakan lingkungan dan perubahan sosial yang terjadi di Pulau Singkep, boleh dikata tak ada gunanya. Ratusan kolong, lubang dan danau bekas galian timah, terserak di Dabosingkep. Belum lagi bekas galian pasir dan bauksit. Pulau ini ibarat terkoyak-koyak akibat dieksploitasi sedemikian rupa. Sampai hari ini, para penambang liar masih mencari bijih timah dan dijual ke pengusaha lokal bernama Exan Fansury.
Yang diperlukan saat ini adalah, solusi untuk memberdayakan masyarakatnya. Perlu kesungguhan untuk menyuguhkan sesuatu pada warga yang sudah terpuruk dan apatis itu, untuk mengangkat derajat kehidupan mereka, menggairahkan kembali semangat dan harapan mereka. Memang berat. Selain Dabo Singkep yang relatif maju, kemiskinan, kertepencilan, begitu akrab di desa-desa lainnya. Tampaknya, tidak terlalu banyak desa yang secara langsung kecipratan rezeki timah selama masa eksploitasi lebih dari 150 tahun itu, kecuali desa Kuala raya, Lanjut , Berindat. Apalagi, dari rezeki penambangan pasir dan kayu, serta hasil alamnya.
Setelah PT Timah angkat kaki, Singkep benar-benar terpuruk, dan berkembang secara apa adanya. Perikanan potensial, tetapi laut sekitarnya sudah punah ranah, Baik oleh akibat polusi penambangan pasir maupun akibat penghancuran batu karang oleh ratusan masyarakat.
Hutan dan industri ikutannya juga demikian. Singkep sudah men-jadi belukar dan sumber kayunya sudah ditebang dengan seram-pangan sehingga menjadi sumber kerusakan air dan pendangkalan sungai-sungainya. Tanaman keras, seperti karet dan kelapa, sejak lama ditinggalkan, karena hempasan harga.
Ungkapan apatis ini, bisa dimaklumi. Sebab setelah dulu merasa dimanja oleh rahmat timah, dan dapat menikmati kehidupan modern jauh lebih cepat dari daerah lain di Riau, seperti melimpah ruahnya listrik, air bersih, bahan makanan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta kemajuan olahraga (siapa di Riau yang tak gentar dengan tim tenis Singkep atau sepak bolanya, atau tim bola volinya) tiba-tiba kini menjadi daerah yang nyaris terbelakang, maka luapan rasa tak puas itu mengepul begitu deras.
Jauh hari sebelum PT Timah angkat kaki, semasa Ir AE Batubara menjabat sebagai Kepala Unit Penambangan Timah Singkep, pernah ada gagasan untuk mengembangkan Singkep sebagai sentra perke-bunan. ”Kalau timah habis, ada sawit atau tanaman keras lainnya sebagai alternatif.”
Lalu dirancang satu paket proyek perkebunan sawit yang dianggar-kan akan menelan biaya sekitar Rp15 miliar yang dananya dari PT Timah sendiri. Pulau Singkep dinilai selain cocok untuk kebun kelapa sawit, juga untuk coklat, cengkih, dan merica (lada hitam), di sam-ping tanaman keras tradisio-nal yang sudah dikenal di sana yaitu karet dan kelapa. Namun proyek itu gagal lantaran kesulitan pupuk.
Reklamasi lahan, juga pernah dilakukan. Tanah di Pulau Singkep yang berjenis Alluvial, Regasal, Hydromorp kelabu dan Podsolik merah kuning dapat dipulihkan melalui program tanaman perkebu-nan. Namun, kebun percobaan itu tidak terlalu berhasil, karena memang tidak ada yang mengurusnya. Begitu juga pemanfaatan bekas kolong-kolong untuk budi daya ikan, seperti sepat, nila, yang tidak dikembangkan lagi.
Solusi lainnya adalah bekas kompleks perkantoran dan pergudangan PT Timah di sana untuk industri, seperti moulding atau garmen. Namun ini juga tidak jalan. Memang, mengubah orientasi warga dari pertambangan dan nelayan, tidaklah mudah. Sebab, kalau dari tambang timah, pasir dan kilang kayu serta melaut, warga tinggal memetik hasilnya.
Dulu, mendapatkan menantu yang bekerja di PT Timah adalah sebuah kebanggaan. Malah, Kepala Unit Penambangan Timah Singkep (UPTS) lebih disegani dibandingkan Camat. Berbagai fasilitas publik seperti jalan raya, listrik, bandar udara dibangun oleh PT Timah.
Biaya pendidikan anak-anak karyawan ditanggung PT Timah. Jika ada keluarga karyawan yang sakit, diterbangkan ke Jakarta. Semua kebutuhan sembilan bahan pokok, didatangkan dari luar Singkep. Pesawat Foker 27 mendarat di bandara Singkep dua kali seminggu.
” Semua karyawan PT Timah mendapat jatah bulanan beras, kopi, gula secara gratis. Malah, kalau lebaran, kami diberi bahan pakaian yang belum dibelum dijahit. Akibatnya, ketika berlebaran, kami anak-anak PT Timah seperti memakai pakaian seragam karena bahannya sama,” kata seorang anak mantan karyawan PT Timah, sambil tertawa.
Kehidupan sosial dan ekonomi warga Singkep yang terbiasa dimanja timah, kini harus berhadapan dengan kenyataan hidup yang keras. Banyak anak muda yang putus sekolah lantaran orang tuanya ”terpelanting” dari PT Timah. Pengangguran yang punya berbagai ketrampilan itu, pindah ke Batam, Tanjungpinang, Karimun dan ke Jambi, meninggalkan Dabosingkep. Akibat kerusakan lingkungan yang parah, membuat hati warga Singkep terluka dan menimbulkan trauma berkepanjangan.
Cukup? Belum. Kandungan bauksit di perut Singkep juga dikeruk. Kabupaten Lingga adalah daerah terbanyak kedua yang memiliki bauksit, setelah Sanggau, Kalimantan Barat. Jumlah sumber daya bauksit di Kepri 180,97 juta ton, dan 168,96 juta ton berada di Kabupaten Lingga.
Penambangan bauksit ini berhenti yang menyebabkan 32 perusahaan yang memiliki izin penambangan stop beroperasi dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 tahun 2012 sebagai aplikasi dari amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang larangan ekspor bahan tambang mentah salah satunya adalah bauksit.
Sejak terbentuknya Kabupaten Lingga tahun 2003, Pulau Singkep dimekarkan dari dua menjadi empat kecamatan, yakni Kecamatan Singkep, Singkep Barat, Singkep Pesisir dan Singkep Selatan. Secara fisik, kota Dabo yang sudah maju sejak era timah, tak banyak yang berubah.
Kini, selain ratusan kolong bekas galian timah, puluhan bangunan berbentuk kotak sarang walet, tersebar dari pusat kota hingga Bukit Kapitan di Dabo Lama. Jalan dari Pelabuhan Jagoh ke Dabo sudah diaspal. Selain beberapa ruko baru, hanya bertambah satu hotel melati dan dua penginapan. Kota Dabo tampak lebih rapi. Inilah kota yang hanya memiliki satu traffic light.
Waktu seakan berjalan lambat di Dabosingkep. Saat senja menjelang, Dabo terasa makin sepi. “Dabo ya begitu-begitu saja. kalau ada acara baru ramai orang dari Daik datang kesini,” kata Jupri, nelayan yang kini jadi pelayan wisma. Saat malam merambat, Dabo sunyi senyap. ***