SAAT itu, situasi ekonomi belum stabil setelah terjadi pergolakan politik. Bisnis di kota Tanjungpinang juga lesu. Pada pertengahan tahun 1966, Muljadi melihat peluang bisnis yang cukup menguntungkan. Berbisnis mata uang atau valuta asing. Caranya dengan menyelundupkan barang ke Singapura dan mencari koneksi atau pendukungnya secara politis.
Bisnis valuta asing atau perdagangan mata uang Rupiah ke Dollar Singapura atau sebaliknya, bisa dilakukan dengan syarat, Muljadi menyetor uang dolar ke bank Singapura sebagai uang muka atau deposit. Jika itu sudah dilakukan, maka ia sudah bisa memperdagangkan mata uang asing tersebut.
Perbedaan harga atau selisih kurs antara Dollar Singapura dan Rupiah inilah yang menjadi keuntungan pedagang valuta asing. Dalam setiap transaksi, keuntungannya bisa mencapai lebih dari 10 persen.
Seorang pengusaha di Jakarta yang berasal dari Selatpanjang, bersedia menjadi investor dan memberi modal awal kepada rekan bisnis Muljadi berkisar 30.000 sampai 50.000 Dollar Singapura. Saat modal sudah diterima, Muljadi dan rekan bisnisnya membeli beberapa produk Singapura, lalu dibawa dengan kapal untuk dipasarkan di Tanjungpinang.
Barang selundupan dari Singapura dibawa ke Tanjungpinang dan barang dari Tanjungpinang, diangkut ke Singapura. Selama rute perjalanan bolak-balik Tanjungpinang – Singapura, kapal mereka dikawal oleh petugas dari Angkatan Laut Republik Indonesia. Di sinilah awal mula kedekatan Muljadi dengan aparat pemerintah dalam mendukung usahanya.
Sementara di Singapura, barang-barang yang dibawa oleh Muljadi tersebut, dijual kepada pengusaha afiliasi yang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh bos-nya dari Jakarta yang memberikan kredit sebagai modal awal usaha.
Peluang bisnis yang diperoleh Muljadi, lebih karena hubungan baik rekan bisnisnya dengan pemodal dari Jakarta. Tugas Muljadi saat itu hanya mengurus administrasi dan keuangan secara internal.
Pada awalnya, kegiatan bisnis itu berjalan lancar dan mulus. Namun, suatu ketika saat kapal baru kembali dari Singapura, kapal dan awaknya ditangkap di Pulau Damping, dekat Batam. Pulau Damping saat itu belum berkembang seperti sekarang. Lokasinya, dekat dengan jembatan I Barelang saat ini. Saat itu, hanya ada sebuah desa nelayan dan menjadi pangkalan Angkatan Laut. Ada beberapa petugas yang ditempatkan di sana.
Saat kapal itu ditangkap, Muljadi dan seluruh awaknya tak bisa berbuat apa-apa. Ia kehilangan kontak dengan keluarga dan teman-temannya.
Mereka menyaksikan, kalau ada tentara Malaysia atau Singapura yang tertangkap, diperlakukan dengan kasar dan dihukum dengan sangat kejam. Mujur bagi Muljadi dan awak kapal lainnya.
Karena mereka adalah anak buah kapal (ABK) yang berasal dari Indonesia, mereka bisa berkomunikasi dengan tentara Angkatan Laut dengan bahasa Indonesia. Selama ditahan di kapal itu, Muljadi dan awak kapal lainnya, ditugaskan mengurus dapur dan menyiapkan makanan tiga kali sehari. Muljadi dan awak kapal ditahan selama hampir satu bulan.
Dalam pertemuan antara awak kapal dengan salah seorang perwira tinggi Angkatan Laut, Muljadi dan rekan-rekannya diminta bekerja sama, mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan Malaysia dan Singapura, lalu informasi tersebut diserahkan ke Angkatan Laut. Pihak Angkatan Laut juga memberikan tugas khusus melalui markas Angkatan Laut di Tanjungpinang
Tidak itu saja. Para personil Angkatan Laut di sana juga memberi Muljadi dan awak kapal lainnya surat tugas khusus untuk mengangkut hasil laut dan barang-barang kebutuhan sehari-hari ke Tanjungpinang dan Singapura. Hal ini, tentu saja merupakan kesempatan baik untuk Muljadi dan rekan-rekannya. Sejak itu semuanya berjalan lancar tanpa kendala.
Betapa tidak. Surat tugas khusus dari para petugas Angkatan Laut, sangat bermanfaat dan memuluskan bisnis Muljadi, baik di Singapura maupun di Tanjungpinang. Hanya dengan membawa tepung impor dari Singapura, keuntungannya bisa dua kali lipat. Begitu kapal sandar di Tanjungpinang, tepung itu tak perlu didistribusikan kemana-mana lagi. Agen tunggal di Tanjungpinang langsung memborong habis semua barang impor yang baru datang tersebut.
Jual beli dengan agen tunggal itu, juga berlaku sistim barter. Muljadi bisa saling menukar barang dagangan dengan hasil laut pedagang di Tanjungpinang. Kedua belah pihak, tidak harus membayar dengan uang tunai, tetapi barter barang dagangan. Sore hari, setelah hasil laut selesai dimuat ke kapal, keesokan harinya, kapal kembali berangkat ke Singapura.
Di Singapura, muatan dibongkar dan dimuat lagi barang-barang kebutuhan sehari-hari, termasuk tepung. Seluruh barang impor itu dijual ke agen dan distributor lokal. Begitu barang diterima, segera dibayar lunas. Atau, bisa juga dengan cara membeli hasil laut pedagang Tanjungpinang senilai piutangnya pada awak kapal.
Hanya perlu waktu tiga hari, kapal berlayar bolak-balik Tanjungpinang – Singapura. Perjalanan aman dan lancar. Muljadi dan awak kapal lainnya tidak perlu khawatir ada pemeriksaan dari patrol kapal perang dan kapal Bea dan Cukai.
Sebab, mereka dibekali surat tugas khusus dari Angkatan Laut Republik Indonesia. Kalaupun ada pemeriksaan di tengah laut, setelah diperiksa, mereka segera dilepaskan lagi. Perjalanan pun dilanjutkan. Selama satu bulan lebih, segala sesuatunya berjalan lancar. Muljadi dan rekan-rekannya merasa ini sebuah kesempatan dan peluang bagus dan sangat menguntungkan.
Namun, nasib sial menghampiri mereka. Suatu hari, jurumudi kapal menemukan sebuah kotak di dalam gudang. Padahal, isinya emping. Saat itu, kapal sudah penuh dengan muatan. Jurumudi itu membawa kotak emping tersebut, lalu dimuat di kapal. Kotak itu, kebetulan ditemukan oleh Kepala Bea Cukai yang terkenal sangat ketat.
“Kapal kami ditahan dan dibawa ke kantor Bea dan Cukai. Beberapa awak kapal, ditahan Bea Cukai, kata Muljadi dalam catatannya.
Muljadi saat itu sangat takut. Usianya masih sangat belia. Pada hari itu juga, Muljadi memberanikan diri menemui seorang komandan Angkatan Laut untuk menjelaskan duduk perkaranya. Ia menemui seorang letnan di kantor pabean. Letnan yang galak itu menurutnya, memegang pistol.
Secara jujur, ia menyampaikan bahwa tidak ada barang selundupan yang mereka muat ke kapal. Melihat Muljadi yang berbadan kecil dan yakin tidak akan berbohong, ia kemudian diperintahkan memeriksa kembali apa isi kotak yang dicurigai itu dan melapor kembali kepada sang letnan. Segera Muljadi menanyakan ke administrator pelabuhan tentang kotak itu.
Setelah diperiksa, ternyata benar. Kotak kecil itu cuma berisi emping. Muljadi melaporkan hasilnya ke Angkatan Laut dan Bea Cukai yang sebenarnya sengaja mencari-cari masalah, keesokan harinya, petugas Bea Cukai melepaskan kapal dan anak buah kapal yang merupakan rekan-rekan Muljadi. Namun, gara-gara peristiwa itu, surat khusus yang dikeluarkan petugas Angkatan Laut diambil lagi. Kapal dilarang berlayar dan membawa muatan seperti sebelumnya.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Berkecimpung di Valuta Asing dan Bahan Kebutuhan Pokok | Masa Belia, Masa Merintis Usaha – MENEROB… […]