By Socrates – Dua kali saya mengunjungi Pulau Singkep, Kabupaten Lingga. Tahun 1998 saat melakukan reportase menyusuri pulau paling ujung di Selatan Kepulauan Riau itu. Dan bolak-balik kesana, dari tahun 2013 sampai 2016 menanam pohon Kaliandra. Pohonnya tumbuh. Proyeknya gagal.
”Tanah air tinggal airnya/ Kolong berserakan. Singapura Timbul/ Singkep tenggelam….” Ini bukan puisi. Bukan pula pantun. Tetapi jeritan hati warga Pulau Singkep. Dampak ekologi, sosial ekonomi dan perubahan yang terjadi pulau Singkep memang luar biasa. Saya menilai, terjadi frustrasi sosial. Sampai sekarang.
Pulau Singkep dalam pelajaran ilmu bumi anak sekolah dasar dulunya, namanya memang kesohor sebagai daerah penghasil timah. Sebab, di Indonesia hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep.
Tapi, kini pelajaran itu harus diganti. Sebab, Pulau Singkep kini, bukan lagi penghasil timah. Pulau itu kini terlantar dan sudah ditinggalkan, dengan mengalami kerusakan lingkungan yang hebat dan perubahan sosial yang dashyat. Pulau yang berbentuk teko itu, yang dikuras isi perutnya lebih dari 150 tahun, kini menjadi pulau yang paling baik untuk bahan studi tentang ekologi, atau bahan renungan tentang tragedi sebuah kota tambang.
Tidak percaya? Silakan datang ke pulau ini. Akan segera dapat disaksikan bagaimana Singkep seolah tercabik-cabik dan terkoyak-koyak. Ratusan lubang bekas tambang timah menganga. Dan kini masih ditambah dengan lubang-lubang baru, bekas kerukan penam-bangan pasir untuk ekspor.(boleh dicatat: Kalau tambang timah, timahnya diambil, tapi pasirnya ditinggalkan, sehingga dapat menim-bun kembali lubang yang menganga. Tapi kalau penambangan pasir untuk ekspor, yang tinggal hanya kolong yang menganga seperti mulut singa– walau pun kemudian ada upaya untuk menimbunnya kembali melalui program reklamasi).
Sementara hutan-hutannya sudah hampir gundul. Bahkan hutan lindung pun digasak oleh belasan kilang papan dan perusahaan pe-nambangan pasir. Kondisi Singkep hari-hari ini, sebagai akibat kealpaan dan ketidakacuhan semua pihak dalam menangani jatuh bangunnya sebuah daerah pertambangan. ”Kami semua terlena. Tak ingat bahwa timah itu bisa habis dan tanah itu bisa dijual ke luar negeri,” keluh dan sesal seorang tokoh masyarakat di sana.
Ya, terlena, karena sejarah timah di Singkep, memang bukan se-jarah pendek. Sekitar dua abad lalu, masa Sultan Lingga di Kota Daik berkuasa, timah sudah didulang secara tradisional. Perusahaan Belanda Singkep Tin Maatschaappij (SITEM) pada tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran. Tahun 1959, penambangan timah pun diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu diting-galkan di awal tahun 90-an.
Sejarah panjang ini, membuat warga Singkep sudah sehati dengan timah. Biji timah membuat mereka hidup penuh kelimpahmewahan. Kota Dabo menjadi salah satu kota paling maju di Riau, bahkan lebih maju dari Tanjung Pinang, ibukota kabupatennya. Belum lagi kehi-dupan warga yang dapat menikmati langsung rezeki timah sebagai karyawan.
”Semua orangtua ingin bermenantu karyawan UPTS,” kenang seorang pemuka Singkep. Tapi, kini timah pula yang mem-buat mereka terpuruk dalam penderitaan berkepanjangan. Apalagi setelah era timah berakhir, ternyata perusahaan penambangan pasir ekspor dan kayu, juga membuat hati mereka luka dan berdarah. ”Lihatlah Singkep, seperti negeri dilanggar burung Garuda,” kata mereka pahit.
Tahun 1985, merupakan tahun dimulainya kepedihan itu. Ketika itu terjadilah apa yang disebut tin crash atau malapetaka timah, yang ditandai dengan ambruknya harga timah di pasaran dunia. Harga timah anjlok dari 16.000 Dolar AS menjadi 8.000 Dolar AS per metrik ton. Kemerosotan harga itu, membuat usaha penambangan, khu-susnya di Singkep menjadi lesu. Eksplorasi berkurang, laba me-nurun, dan mulailah dampak atas karyawan terasa. Pemutusan hubungan kerja dan lainnya. Seiring itu pula, penambangan timah di Singkep yang diusahakan. Semua akitifitas dipindahkannya ke Karimun dan Kundur.
Perubahan drastis langsung menerpa mereka yang mengan-tungkan hidupnya pada PT Timah. Berangsur-angsur, 2.400 karyawannya diberhentikan dan diberi ”uang tolak” alias pesangon. Sebagian yang diberhentikan, pindah dari sana. Yang tak di-pehaka, pindah ke lokasi tambang lain di Bangka, Tanjung Batu dan Tan-jungbalai, Karimun. Pulau Singkep, dan khususnya Kota Dabo mulai terjerembab.
Warganya mulai hengkang, terutama kalangan usahawan, banyak yang pindah ke Tanjungpinang atau Batam. Anak-anak mudanya berhamburan merantau, mencari pekerjaan. Akibatnya, Dabo Singkep jadi sepi. Wajah pulau seluas 829 km2 pun kusut masai dan po-rak poranda. Ratusan lubang yang menganga bekas tambang timah yang bertebaran di seantero Pulau Singkep yang dalamnya belasan meter, seperti nyanyian bisu dan pedih. Kolong-kolong yang menyerupai danau itu menjadi sarang empuk nyamuk anopheles, penyebar malaria. Dan jika melihat Singkep dari udara, seakan pulau ini telah disayat-sayat dan dikoyak-koyak.
Rumah berarsitektur khas Belanda yang dulu ditempati para petinggi UPTS (Unit Penambangan Timah Singkep) yang menjadi ciri khas dan kebanggaan kota itu (karena terletak indah di atas bukit dilindungi pohon pisang kipas dan pohon rindang), kini sebagian sudah dijual dengan harga murah kepada yang mau membeli, dan kebanyakan eks karyawan UPTS dan pejabat setempat.
Sebuah bank dengan kantor lumayan megah, kini sudah tutup. Memang ada bank, tetapi statusnya berganti dengan kantor unit. Kantor-kantor bekas PT Timah kosong melompong. Gudang-gudang bengkel yang terlantar, ditumbuhi semak belukar. Lapangan terbang hanya sesekali disinggahi pesawat udara. Ruko-ruko yang berjejer di jalan utamanya, boleh dihitung dengan jari yang masih buka.
Pukul lima sore, semuanya sudah tutup. Sebuah rumah sakit yang cukup besar, yang dulunya punya perlengkapan yang canggih, kini tinggal mimpi. Bangunannya kini ditempati untuk pus-kesmas, namun peralatan kedokteran, seperti alat deteksi jantung dan perangkat operasi lainnya, tak ada lagi. Akibatnya, kalau ada pasien yang sakit berat terpaksa dikirim ke Tanjungpinang. Banyak yang tak mampu, karena jauh dan mahal biaya perjalanannya. ”Banyak yang mati di perjalanan,” kata beberapa warga setempat.
Maka, tidak heran, kalau penduduk pelan-pelan menyusut. Pada tahun 1990, penduduk Singkep masih tercatat 39.000 jiwa. Lima tahun kemudian, tinggal 21.000 jiwa saja. Meskipun sekarang ada kecenderungan naik kembali, tetapi statistik tahun 1997 baru sekitar 35.000 jiwa.
Murjani Lelek, mantan pejabat Lingkungan Hidup PT Timah, yang kini menjadi ketua persatuan mantan karyawan UPTS mengakui bahwa sendi-sendi sosial ekonomi warga terimbas langsung akibat perginya PT Timah dari Singkep. Terjadi kejutan kultural yang cukup keras pada warga. ”Mereka yang dulu berkehidupan serba wah, kini dihadapkan dengan kenyataan hidup yang keras. Karena terbiasa manja, warga kaget dengan perubahan itu,” ujarnya.
Achmad Saleh (54) pegawai negeri sipil (PNS) di Dabo Singkep mengatakan, di masa jayanya, banyak PNS yang minder. Soalnya selain gaji besar, karyawan PT Timah mendapat segudang fasilitas. ”Kini mereka gigit jari,” katanya sambil memasukkan telunjuknya di sela-sela giginya.
Sedangkan Erwin (24) putra Singkep mahasiswa Akademi Maritim di Yogyakarta mengatakan, banyak anak muda yang putus sekolah lantaran orang tuanya ”terpelanting” dari PT Timah. ”Yang tak tahan dengan perubahan, keluarganya berantakan. Ada yang bermabuk-mabukan, stres dan main judi sie jie,” tuturnya miris.
Saat malam merambat, Dabo Singkep sunyi senyap. Pukul dela-pan, jalanan sudah sunyi senyap. Lampu jalan yang dulu gemerlapan dengan neon berwarna kuning, kini malap. Taman seni kebanggaan warga setempat, kini jadi tempat buang air seni. Wisma PT Timah yang lumayan megah, disulap jadi tempat karaoke. ”Kalau malam Minggu, kami turun (ajojing) sampai pagi,” ungkap seorang cewek berpakaian seksi. Kini, tak sulit memboking cewek, karena banyak yang ingin cepat dapat uang. ”Boleh pesan pak,” bisik seorang tukang ojek yang mangkal di dekat Wisma Gapura Singkep.
Pantai Batu Berdaun, yang dulu jadi pantai wisata, kini terlantar. Restoran makan lautnya sudah roboh dan tenggelam ke dalam da-nau. Jalan-jalan berlobang dan berdebu. ”Mobil penumpangnya mobil tahun 60-an. Pintunya saja tak bisa ditutup,” sebut seorang tamu hotel. Tragis, memang. Tapi inilah tragedi sebuah kota tambang yang kemudian terbuang. ***