By Socrates – Meski wilayah kerja Otorita Batam diperluas sampai ke Rempang dan Galang, pemerintah pusat belum mengeluarkan Hak Pengelolaan Lahan. Padahal, Rempang dan Galang sangat potensial. Saking banyaknya peminat lahan, wali kota saat itu Ahmad Dahlan mengeluarkan surat edaran larangan mengeluarkan surat tanah.
Di Rempang, luas lahan 18.735 hektar. Atau setara 25,5 persen dari luas Barelang 71.500 hektar. Sekitar 217 hektar disiapkan untuk kawasan industri, permukiman 656,59 hektar, pariwisata seluas 447,14 hektar, fasilitas umum 127,82 hektar, jasa 181,04 hektar, dan pertanian 1.198,57 hektar.
Sementara di Galang, dari luasnya 13.741 hektar atau 18,74 persen dari luas Barelang, disiapkan seluas 98 hektar untuk industri, perumahan 422,60 hektar, pariwisata 811,39 hektar, fasilitas umum 109,23 hektar, jasa 51,34 hektar dan pertanian 817,19 hektar.
Di atas kertas, Otorita Batam sudah membuat Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Rempang-Galang, disusun dengan tiga skenario pengembangan. Pertama, diperkirakan karakteristik pertumbuhan pembangunan Rempang-Galang bergerak mengikuti Batam. Kedua, pertumbuhan ekonomi pada skenario ini ditargetkan mencapai pertumbuhan optimal. Tambahan areal lahan yang diberikan Rempang-Galang akan dapat membentuk pasar yang efisien pada sektor real estate dan properti yang sekaligus akan memperbaiki daya saing kawasan industri.
Diharapkan, pendapatan pemerintah melalui UWTO dapat meningkatkan investasi pemerintah dalam bidang infrastruktur dan fasilitas lingkungan.
Ketiga, dengan skenario ini ditargetkan Rempang-Galang mencapai tingkat pertumbuhan maksimal. Hal ini bisa dicapai dengan memaksimalkan kinerja sektor ekonomi, khususnya pariwisata dan industri non polutif sebagai pemacu pertumbuhan.
Upaya ini diharap dapat menarik wisatawan dan investasi asing sebanyak-banyaknya ke Pulau Batam.
Tapi, apa yang terjadi? Beberapa kali, rencana investasi ke Rempang dan Galang, gagal dan kontroversial. Warga Rempang dan Galang pernah mempertanyakan dan mengadu ke Komisi I DPRD Kota Batam terkait status quo lahan yang mereka tempati, pada 23 Januari 2015.
Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan warga Rempang dan Galang tersebut terungkap, masyarakat Rempang Galang merasa diperlakukan tidak adil oleh kebijakan pemerintah pusat dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan tahun 1986 yang mengalokasikan lokasi tempat tinggal mereka sebagai wisata hutan buru seluas 16 ribu hektar.
Kebijakan tersebut, dinilai tidak berpihak kepada masyarakat yang sudah menghuni pulau Rempang sejak tahun 1834. Selain itu, masyarakat resah dan rugi karena diberlakukannya status quo oleh pemerintah, sehingga masyarakat tidak dapat mengurus surat-surat kepemilikan tanah.
“Sudah 28 tahun kami dirugikan karena status quo ini, kami tidak dapat mengurus surat-surat kepemilikan tanah, bahkan hak-hak tanah masyarakat dianggap ilegal dan boleh dikatakan hilang sama sekali. Mestinya, negara mengakui dan melindungi hak masyarakat,’’ kata Sony mewakili warga Rempang dan Galang saat itu.
Gerisman Ahmad, tokoh masyarakat Rempang mengatakan, agar seluruh lahan tanah garapan masyarakat diterbitkan sertifikat oleh pemerintah saat itu.
‘’Kami menolak diberlakukan dua kali pembayaran pajak UWTO dan PBB, setiap kampung tua harus mempunyai legalitas resmi dari pemerintah berupa sertifikat tanah dan IMB,’’ kata Gerisman Ahmad.
Namun, rapat dengar pendapat itu, tidak terdengar lagi kelanjutannya. Apalagi, saat itu BP Batam tidak hadir dalam rapat.
Status Quo, Tapi ada Penguasaan Lahan
Meski lahan Rempang dan Galang status quo, tidak mematikan minat para pengusaha dan politisi, memiliki lahan di Rempang dan Galang.
Sebagian lahannya, sudah dikapling-kapling dan diperjualbelikan dan digarap para spekulan tanah yang berharap kaya mendadak jika lahan di kawasan itu dibebaskan. Ada yang dijadikan kebun, kolam dan peternakan ikan. Ada pula yang mematok-matok lahan dan membeli dengan harga miring dari warga setempat.
Salah satu contoh lahan seperti ini, seperti diakui Taba Iskandar, mantan Ketua DPRD Batam dan kini anggota DPRD Kepri. Diduga, masih banyak pengusaha dan politisi lokal yang memiliki lahan di Rempang dan Galang. Diduga, beberapa pengusaha sudah ’’membeli’’ pulau-pulau kecil di kawasan Barelang.
Rempang Galang Sudah Tidak Berstatus Quo?
Yang mengejutkan adalah pernyataan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batam, Memby Untung Pratama. Ia menyebut Rempang-Galang tidak lagi berstatus quo sejak tahun 2011. Menurutnya, status quo otomatis hilang dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5/2011 tentang perubahan atas PP Nomor 46/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.
”Dalam PP Nomor 5/2011 sudah clear semuanya. Sudah ditegaskan wilayah kerja BP Batam di Rempang dan Galang. Jadi, tidak lagi berstatus quo,” kata Memby kepada wartawan di Batam.
Sehingga menurut Memby, Badan Pengusahaan (BP) Batam sudah tidak lagi memiliki hambatan administratif dalam mengelola kawasan Rempang dan Galang untuk kepentingan investasi. Apa benar begitu?
Sejak Rempang dan Galang menjadi wilayah kerja Otorita Batam dan bergabung ke Batam setelah menjadi kota otonom, pemerintah pusat ternyata belum pernah mengeluarkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Padahal, sejak masuk menjadi wilayah Pemko Batam, sudah didirikan kantor camat, lurah dan sarana fisik publik lainnya seperti sekolah dan Puskesmas di Rempang dan Galang.
Hak pengelolaan lahan (HPL) untuk wilayah Rempang, ternyata masih dalam proses pengukuran hingga bulan September 2023.
“Yang (HPL BP Batam di Pulau Rempang, pen) itu, masih dalam proses. Kami masih minta supaya clean and clear, setelah itu baru kita serahkan HPL, sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan,” kata Hadi Tjahjanto, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kepada wartawan di Pulau Rempang, Minggu (17/9/2023).
Walau HPL di pulau Rempang masih dalam proses pengukuran, pemerintah sudah bersepakat melaksanakan Program Strategis Nasional (PSN) di Pulau tersebut. Pulau Rempang akan dimanfaatkan untuk pembangunan proyek Eco City dengan cara merelokasi masyarakat Rempang yang sudah ratusan tahun hidup di sana.
Saran Mantan Wako Batam Soal Pengembangan Ecocity Rempang
Ahmad Dahlan, mantan wali kota Batam periode 2006 -2016 mengatakan, ‘’Saya pernah mengeluarkan surat edaran bahwa Lurah dan Camat dilarang mengeluarkan surat tanah kepada siapapun dalam bentuk apapun. Dalam periode saya, kita sudah melarang. Masalahnya, pemerintah pusat tidak memberi HPL kepada Otorita Batam. Jadi, lahan dialokasikan per persil kepada pemohon lahan,’’ kata Ahmad Dahlan yang diwawancarai via telepon, Senin (18/9/2023).
Dengan status lahan yang belum jelas, kata Ahmad Dahlan, investor tidak tertarik. Lalu, apa solusinya? Menurut Ahmad Dahlan, di Batam saja yang industrinya sudah sangat maju, tapi pihaknya sebagai wali kota saat itu, masih mempertahankan kampung tua.
‘’Terakhir saya menandatangani izin 35 kampung tua. Memang ada demo dan berbagai kendala, tapi ada titik temunya. Menyesuaikan dengan tata ruang yang dibuat BP Batam. Misalnya, Batu Besar sampai Kampung Panglong, tidak kita ganggu,’’ papar Ahmad Dahlan.
Pohon-pohon dan makam-makam leluhur orang Melayu, kata Ahmad Dahlan, sudah ada sejak dahulu kala, sebelum tahun 1970-an atau sebelum BP Batam berdiri. Lalu, mengapa tidak sekalian izin kampung tua di Batam diberikan dengan kampung tua di Rempang dan Galang?
‘’Pertama, karena di Batam sudah mendesak dan industri bergerak maju. Apalagi, Rempang dan Galang baru tersambung jembatan. Dalam catatan saya, ada 63 kampung tua di luar pulau Batam,’’ kata Ahmad Dahlan, seraya menyebutkan, masa sosialisasi pembangunan Rempang Eco City, terlalu singkat yang hanya satu bulan.
‘’Sosialisasi terlalu cepat dan agak represif. Dampaknya besar. Saya ditelepon oleh warga Melayu dari berbagai daerah di Sumatera. Ada apa di kampungmu, Pak Dahlan. Carilah solusinya. Pertahankan kampung tua dan diadaptasi dengan proyek yang besar ini,’’ saran Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan, tokoh Melayu yang pernah menjadi wali kota Batam dua periode ini, juga memiliki karir yang panjang di BP Batam. Ahmad Dahlan pernah menjadi Kepala Biro Humas dan Pemasaran Otorita Batam, Kepala Biro Umum, serta Kepala Biro Kepegawaian Otorita Batam. Ia juga pernah dipercaya sebagai Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Provinsi Kepri.
(*)
(bersambung)
[…] Artikel ini terbit pertama kali di : socratestalk.com […]