By Socrates & Bintoro Suryo – Sejak lama, Rempang dan Galang jadi ajang perebutan kepentingan bisnis dan politik. Mulai dari rancangan UU Barelang, pernyataan politisi yang minta Rempang Galang dikembalikan ke Kabupaten Kepri, iming-iming alokasi lahan ke sejumlah perusahaan, hingga Kawasan Wisata Terpadu yang kontraversial.
Tahun 1999 ada rancangan undang-undang yang diajukan, yakni RUU Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Barelang, untuk memberi kepastian hukum kepada investor. Direncanakan, akan berlaku dalam jangka 50 tahun.
Di tingkat pemerintah pusat, dibentuk Dewan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Barelang dan disebut Dewan Barelang.
Setelah RUU ini gagal dan dinilai kontraversial, maka muncullah draft RUU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Berbeda dengan RUU Barelang, RUU baru ini mencantol kepada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Jika kedua RUU yang belum diundangkan ini dicermati, ini tidak lain adalah upaya Otorita Batam agar tetap eksis di pulau ini.
Dalam Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999 disebutkan Kota Batam berasal dari tiga kecamatan yakni kecamatan Belakangpadang, Batam Barat dan Batam Timur, sebagian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau yang terdiri atas (1) sebagian kecamatan Galang meliputi Desa Rempang Cate, Desa Sembulang, Desa Sijantung, Desa Karas dan Desa Pulau Abang serta (2) sebagian wilayah kecamatan Bintan Utara yang meliputi desa Galang Baru, yaitu Pulau Air Raja, Pulau Mencaras dan Desa Subang Mas.
Pernyataan Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Riau saat itu, Andi Anhar Chalid yang meminta Rempang Galang dikembalikan ke Kabupaten Kepri, cukup mengejutkan dan menimbulkan polemik saat itu. ’’Banyak yang menolak bergabung ke Batam. Bangun rumah dilarang. Jual beli tanah dilarang. Bergabung dengan Batam, masyarakat masih miskin,’’ kata Andi Anhar Chalid, saat itu. (Sijori Pos, 12 Januari 2002).
Entah karena sikap politik Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Riau itu, Otorita Batam dan Pemko Batam seolah berlomba mencari investor masuk ke Rempang Galang.
Tahun 1990-an hingga tahun 2003, Batam pernah dijuluki kota judi. Mulai dari sie jie Singapura, jackpot sampai kasino, merebak di berbagai sudut kota. Tercatat 116 unit amusement atau ketangkasan elektronik buka. Puluhan tempat judi ilegal dibuka di pemukiman penduduk secara terang-terangan. Beberapa kasino tercatat juga sempat beroperasi Jodoh-Nagoya dan juga Nongsa.
Pada September 2001, beberapa pejabat Batam serta anggota DPRD Batam studi banding ke kawasan perjudian Genting, Kuala Lumpur, Malaysia. Setelah rombongan ini pulang dari Genting, Pemko Batam mengajukan draft Peraturan Daerah (Perda) tentang kepariwisataan. Usulan itu langsung disetujui DPRD Batam pada 8 Oktober 2001. Wali Kota Batam saat itu adalah Nyat Kadir dan Ketua DPRD Batam Taba Iskandar.
Bulan September 2023 ini, saya mengajukan permintaan wawancara dengan Nyat Kadir melalui pesan singkat, tapi tidak ada jawaban. Pada wawancara dengan Taba Iskandar via telepon tanggal 20 September 2023, Taba mengakui punya lahan di Rempang yang belakangan dijadikan kebun, seperti yang disampaikannya dan sudah beredar luas di media sosial. Taba Iskandar juga mengakui meneken persetujuan rekomendasi KWTE pada awal dekade 2000-an silam.
’’Saya merekomendasikan investasi di Rempang dan Galang, memberi dukungan kepada Otorita Batam dan Pemko Batam karena belum ada HPL dan lahannya status quo. Tapi, investasinya tidak berlanjut,’’ kata Taba Iskandar. Menurutnya, ada enam perusahaan yang diberi izin prinsip oleh Otorita Batam yang saat itu dipimpin Ismeth Abdullah, untuk menggarap Pulau Rempang.
Dalam draft itu disebut, Pemko Batam akan membuat Kawasan Wisata Terpadu (KWT) di Rempang dan Galang. Dalam klausul itu juga disebutkan, KWT ini diberlakukan, jika Pemko Batam melakukan penertiban terhadap berbagai jenis hiburan dan perjudian yang sudah menjamur di Batam.
KWTE Sementara & KWT Rempang
Perda belum disahkan, Pemko Batam kemudian menunjuk PT Dewa Menara Wisata (DMW), pimpinan Chandra Wijaya sebagai pengelola KWTE sementara. Langkah ini sebagai tindak lanjut atas ijin prinsip yang dikeluarkan Walikota Batam Nyat Kadir, 4 Pebruari 2002 yang kemudian diperpanjang lagi pada 4 Juli 2002.
Setelah beberapa surat Walikota mengalir ke DPRD setempat, pada 8 Agustus 2002, DPRD Kota Batam mengeluarkan rekomendasi. Isinya, menyetujui daerah yang menjadi lokasi KWTE sementara, yakni Tering Bay Resort, Nongsa Point dan Marina City.
Pengusaha dan konglomerat Tommy Winata dikabarkan berada di balik proyek ini, yang akan menginvestasikan uangnya membangun kawasan wisata terpadu eksklusif (KWTE) dan kawasan wisata terpadu (KWT) di Pulau Rempang dan Pulau Galang. Sudah ada nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) dan perjanjian tentang pengembangan dan pengelolaan KWTE dan KWT di Pulau Rempang.
Intinya, Pemko dan DPRD Batam ingin menjadikan Rempang dan Galang sebagai kawasan wisata terpadu, berhadap-hadapan dengan Singapura dan Malaysia.
Yang mengejutkan, daerah yang ditunjuk itu bebas untuk menjalankan berbagai jenis permainan judi. Mulai dari baccarat, roullete, craps, ji si kie, pay kyu, blackjack, sampai poker boleh dioperasionalkan. Uraian jenis judi itu tertuang dalam nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Batam, dan Direktur PT DMW, Candra Wijaya.
Akibatnya, gejolak di masyarakat pun membuncah. Pro kontra timbul. Perda KWTE itu belum ketahuan juntrungannya pada tahun 2003. Puncaknya adalah ketika massa pendemo menolak judi, bentrok dengan massa lainnya yang bekerja di kasino. Seorang demonstran tewas, tiga orang lainnya luka-luka pada peristiwa berdarah tersebut. KWTE Sementara, akhirnya urung ditetapkan.
Tahun 2004, Perda KWT diterbitkan dan MOU antara Pemerintah Kota Batam dengan Group Artha Graha untuk menggarap Rempang dalam kerjasama KWT akhirnya disepakati. Tapi, kerjasama itu juga urung dilakukan karena keluarnya penetapan pulau Rempang dan Galang sebagai status quo oleh pemerintah pusat (baca : Lahan Status Quo dan Investor Lokal – Rempang, Tanah Harapan yang Jadi Incaran 4)
Batam dan Rivalitas Judi Singapura
Pada dekade 90-an hingga tahun 2003-an, Batam gemerlap dengan aktifitas abu-abu perjudian. Anggapan orang tentang Batam kota judi, juga terlihat ketika polisi menyita ratusan mesin judi jackpot. Pada tanggal 14 Juli 2005 polisi menyita 400 mesin judi jackpot dan menahan empat pemiliknya dalam dua hari operasi pemberantasan judi. Upaya polisi di Batam dilakukan setelah Kapolri saat itu, Jenderal Soetanto menyatakan pelarangan terhadap seluruh aktifitas perjudian di Indonesia.
Namun, tak sampai setahun aktifitas perjudian di Batam tutup, Singapura justeru membangun dua kawasan resort terpadu yang dilengkapi dengan kasino. Kasino di Sentosa dan Marina itu, bergaya ala Las Vegas dan Makao di Timur. Meski kedua kasino itu belum beroperasi saat itu, sudah disiapkan super mal Vivo City di Harbour Front, Singapura untuk aksesnya.
(*)
(bersambung)
[…] Artikel ini terbit pertama kali di : socratestalk.com […]