By Bintoro Suryo – Kekalahan dan penyerahan Inggris kepada Jepang pada 15 Februari 1942, mengakibatkan penyerahan terbesar personel militer pimpinan Inggris dalam sejarah.
Sekitar 80.000 tentara Inggris, India dan Australia menjadi tawanan perang. Mereka bergabung dengan 50.000 orang lainnya yang ditahan oleh Jepang dalam Kampanye menguasai semenanjung Malaya.
Hanya dalam tujuh hari, Singapura, “Benteng yang Tak Tertembus”, telah jatuh.
Perdana Menteri Inggris saat itu, Winston Churchill menyebut, kejatuhan Singapura yang memalukan sebagai “bencana terburuk” dan “penyerahan terbesar” dalam sejarah Inggris.
Menurut catatan Bob Hacket dalam laporan khususnya berjudul “Singapore War“, Kilang Minyak dan Pusat Penyimpanan Singapura, Asiatic Petroleum, yang merupakan anak perusahaan Royal Dutch Shell Oil dan memiliki pusat penyimpanan di Pulau Bukum dan Pulau Sebarok dekat Singapura juga ikut terimbas.
Kondisi yang sama juga dialami pada Kilang minyak mereka di pulau Sambu yang terletak di wilayah Hindia Belanda (Indonesia saat ini, pen).
Aktifitas produk olahan minyak yang didatangkan dari Sumatera dan disimpan di pusat penyimpanan di dekat pulau Singapura itu jadi tersendat.
Perjalanan pulang pergi dari kilang minyak di Palembang, Hindia Belanda ke Singapura, termasuk bongkar muat bahan bakar yang rata-rata memakan waktu sekitar satu minggu, menjadi lebih lama. Saat penguasaan terjadi oleh Jepang, ada kondisi yang menunjukkan kemungkinan kesulitan bongkar muat.
Kilang minyak Pulau Bukom terletak tepat di sebelah selatan pulau utama Singapura. Kilang Pulau Sebarok berada di sebelah timur Pulau Bukum.
Sementara Kilang Pulau Sambu (Samboe) masuk dalam wilayah Hindia Belanda.
Sambu Sebagai Kilang Minyak
PEMILIHAN pulau Sambu sebagai lokasi penampungan minyak pada dekade 1920-an, merupakan solusi yang ditempuh perusahaan minyak Standard Oil of New Jersey (STANVAC), yang merupakan perusahaan swasta pertama datang ke Hindia Belanda pada tahun 1912 dalam distribusi bahan bakar ke luar wilayah Hindia Belanda (Indonesia,pen) pada waktu itu.
Sebuah laporan dari seorang penulis Singapura, Bob Hacket dalam artikel “Singapore Oil”, pulau kecil itu sudah berfungsi lama sebagai kawasan Kilang minyak, bahkan sebelum pulau Batam berpenduduk seperti sekarang, pulau ini lebih hidup dari Batam. Pulau Sambu di Batam telah menjadi kawasan kilang penyimpanan minyak oleh Royal Dutch Shell sejak tahun 1927.
Stanvac yang melakukan produksi minyak bumi di Sungai Gerong dan beberapa wilayah lain di Sumatera Selatan, memiliki kendala dalam membawa muatan minyak berkapasitas besar untuk ekspor ke internasional melalui Singapura. Penyebab utamanya adalah kondisi jalur pelayaran di sungai Musi yang hanya bisa dilalui oleh kapal-kapal tanker kecil. Sehingga, dibutuhkan lokasi baru untuk penampungan minyak-minyak hasil produksi dari Sumatera Selatan.
Dalam buku “American in Sumatera” terbitan tahun 1961, penulisnya, James W. Gould mengatakan bahwa pilihan jatuh pada pulau Sambu yang terletak sekitar 3 mil di seberang Singapura karena opsi mereka untuk menggunakan kilang minyak di Tanjung Uban yang dibangun pada 1911, ditolak pemerintah Hindia Belanda dengan alasan protes dari pemerintahan Inggris di Singapura.
Pada tahun 1927, pulau Sambu memang sudah memiliki infrastruktur tangki-tangki penampungan, namun tidak terlalu besar.
Permintaan minyak internasional yang meningkat dari lokasi produksi di Sumatera Selatan, membuat Hindia Belanda bersedia memperbaharui perjanjian dengan Stanvac soal penggunaan kilang minyak di Tanjung Uban yang masuk dalam wilayah teritori mereka. Proses pembangunan dan perbaikan kemudian dilakukan selama dua tahun dan dioperasikan pada 1931.
Keberadaan penampungan minyak di pulau Sambu pada masa lampau juga dituliskan oleh seorang Belanda, Evelijn Blaney yang sempat mengikuti penugasan orangtuanya menjadi administrator wilayah untuk Belakang Padang dan pulau Sambu atas penugasan residen Riau, Goedhart sekitar tahun 1939.
Dalam bukunya “Our Childhood in The Formers Colonial Ducth East Indies” terbitan Xlibris Corporation, ia menyebut aktifitas di pulau Sambu berjalan baik di bawah bataafse petroleum maatschappy (bataafse oil co.) yang merupakan bagian perusahaan multinasional Shell.
Kedudukan pulau Sambu sebagai pusat penampungan minyak, sama halnya dengan kilang minyak yang berada di pulau Bukum yang berada di bagian selatan Singapura.
Kerusuhan di Sambu 1952
PADA tahun 1952, sempat terjadi insiden kerusuhan massa di pulau Sambu saat pengelolaan pulau kecil itu berada di bawah British Petroleum (BP) Shell, perusahaan joint venture antara BP dan Royal Dutch Shell, usai Indonesia merdeka. Motif utamanya seputar masalah minyak yang memang menjadi pusat perhatian wilayah di sekitarnya. Tidak hanya pada tahun lima puluhan, tetapi hingga beberapa dekade kemudian.
Walaupun merupakan bagian wilayah Indonesia, pulau Sambu memiliki keunikan karena dikelola oleh perusahaan minyak asing, Secara hukum, pulau itu adalah bagian dari indonesia, namun praktiknya dikelola oleh BP Shell, perusahaan multinasional besar.
Banyak aktifitas kapal yang mengisi dan mengosongkan tangki-tangki di sini untuk selanjutnya dikirim ke Singapura yang saat itu bertanggung jawab atas operasi dan pusat regional untuk distribusi grosir minyak. Staf manajerial di pulau itu berasal dari anak perusahaan ketiga, bataafche petroleum maatschappij, yang ladang minyaknya di Indonesia merupakan sumber sebagian besar bahan bakar yang mengisi tangki-tangki minyak di pulau Sambu.
Ada beberapa ratus orang Indonesia yang menjadi karyawan di sini, dengan mandor biasanya berasal dari Eurasia atau Cina.
Seorang diplomat berkebangsaan Inggris, James Cable dalam bukunya ; “Navies in Violent Peace”terbitan St. Martin’s Press Inc tahun 1989 menceritakan tentang suasana saat kerusuhan terjadi di pulau kecil berjarak 3 mil dari Singapura itu. Awal kerusuhan disebut dari salah satu mandor (supervisor) asing yang terlibat perselisihan dengan karyawan lokal di pulau kecil seluas 64 hektar tersebut.
“Salah satu dari mereka telah membuat dirinya cukup tidak populer dengan tenaga kerja yang kemudian harus disalahkan karena memprovokasi kerusuhan pada 23 Januari 1952. Dia terluka dan dievakuasi ke rumah sakit di Singapura. Kasusnya melebar karena kepentingan hukum dan politik’, tulis James di bukunya.
Ada 5 polisi di Sambu saat itu, namun tidak cukup mampu untuk bisa mengendalikan kerusuhan yang terjadi.
Otoritas pengelola pulau Sambu saat itu akhirnya mengambil langkah pertama dengan mengirimkan telegram pada tanggal 26 Januari 1952 yang ditujukan langsung kepada kuasa usaha Inggris di Jakarta.
Mereka meminta untuk segera memberi tahu pemerintah Indonesia tentang kerusuhan yang terjadi. Dalam telegram tersebut juga disertai permintaan untuk meminta pengiriman kapal patroli angkatan laut Indonesia sesegera mungkin ke pulau Sambu.
Bersamaan dengan upaya itu, kuasa usaha Inggris di Singapura juga meminta kapal patroli Inggris untuk segera mendekat ke pulau Sambu. Aksi pendaratan disiagakan ke pulau wilayah teritori Indonesia itu.
Pemerintah Indonesia menjanjikan untuk sesegera mungkin mengirimkan tim patroli Angkatan Laut ke pulau Sambu. Untuk meredakan kerusuhan yang masih terjadi di pulau penampung minyak itu serta mengatasi ketidaksabaran yang meningkat di Singapura akibat peristiwa itu, pada 1 Februari 1952, Inggris yang sudah menyiagakan pasukan dengan 5 perwira dan 65 jajaran Resimen SAS semakin mendekati pulau Sambu yang hanya berjarak 3 mil dari Singapura tersebut.
“Kuasa usaha Inggris di djakarta, Charles Steward, diberitahu untuk memperingatkan pemerintah Indonesia bahwa, jika pasukan Indonesia tidak mencapai pulau Sambu pada 2 Februari (1952, pen), pasukan Inggris akan mendarat dan memulihkan ketertiban. Pengulangan Telegram dengan tujuan ke kantor luar negeri di London juga dilakukan untuk memberi isyarat kepada pemerintah Inggris bahwa intervensi bersenjata di negara asing tidak hanya dimaksudkan, tetapi akan segera dilakukan”, tulis James.
Berita telegram itu itu menimbulkan kepanikan di London mengingat hubungan bilateral dua negara, antara Inggris dan Indonesia. Perdana Menteri Inggris saat itu, Winston Churcill akhirnya mengeluarkan instruksi kompromi terhadap pasukan Inggris yang sudah berada di bibir pulau Sambu ; “jangan tentara yang diturunkan, tetapi polisi bersenjata”.
Pada saat perintah Churcill akhirnya sampai di Singapura, pasukan Inggris yang berada di sekitar perairan Sambu memberi laporan bahwa kerusuhan sudah mulai mereda.
“Hari berikutnya, 3 Februari 1952, tim patroli Angkatan Laut Indonesia dengan total sekitar 50 orang tiba di lokasi”, lanjut James dalam tulisannya.
Kehidupan Orang Sambu Tempo Dulu
PULAU Sambu hanya berjarak 15 menit perjalanan menggunakan boat pancung dari pelabuhan Sekupang, Batam saat ini. Banyak bangunan-bangunan tua yang menemani sejarahnya beberapa puluh tahun ke belakang.
Saat Sambu di bawah pengelolaan BP Shell, penghuni yang tinggal di pulau itu adalah para karyawannya. Ada fasilitas perumahan dengan fasilitas penunjang lainnya yang disiapkan. Seperti tempat ibadah hingga bioskop. Beberapa bangunannya masih bisa disaksikan hingga saat ini.
“Di Sambu, mata uang yang dipakai dollar Singapura. Kalau belanja, kami ke Singapura, sekitar 20 menit perjalanan menggunakan kapal khusus milik perusahaan”, ujar salah satu tokoh lama masyarakat Batam, Hartoyo Sirkoen, mengenang masa kecilnya di pulau Sambu.
Hartoyo yang juga sempat berkarier di pemerintah kota Batam itu mengatakan, ada fasilitas layar tancap yang memutar film-film barat era 40-an dan 50-an tiap akhir pekan pada sabtu dan minggu menjadi hiburan bagi warga yang mendiami pulau kecil itu. Pulau Sambu dan Belakang Padang saat itu, memang menjadi pusat keramaian orang di sekitar Batam.
Situasi politik saat itu belum membatasi teritorial Singapura (masih negara bagian Malaysia) – Indonesia secara ketat.
“Paspor sudah berlaku, tapi bagi warga Sambu dan pulau-pulau sekitar yang mau ke Singapura tanpa paspor juga masih bisa, cukup menunjukkan KTP, nanti ada diberi semacam cap saat masuk ke sana”, lanjut Hartoyo.
Pria yang masih bersepupu dengan bintang sepakbola nasional Singapura, Fandi Ahmad itu mengatakan, keluar masuk Singapura merupakan hal yang biasa bagi warga di pulau Sambu pada masa lalu. Hartoyo bahkan menyebut memiliki banyak kerabat di negeri Singa itu sampai saat ini.
“Saat di Batam belum ada apa-apa, di Sambu sudah lengkap. Pusat keramaian di sekitar Kepulauan Riau bagian utara ya di Pulau Sambu ini,” kenangnya.
Kehidupan di Sambu adalah mewah dibanding kehidupan warga di pulau-pulau sekitarnya, termasuk pulau Batam yang masih belum berkembang. Tidak heran, Sambu menjadi magnet bagi daerah-daerah sekitarnya.
“Tiap menjelang tujuh belasan, itu perairan depan belakang padang ramai dikunjungi warga pulau sekitar Belakang Padang dan Sambu. Bahkan orang Tambus (suku laut, pen) sudah ada di sana beberapa minggu sebelum perayaan digelar, perahunya sudah berjejer” kenang Hartoyo.
Pulau Belakang Padang yang bersebelahan dengan pulau Sambu, resmi menjadi kelurahan sekitar tahun 1959 dan menjadi bagian dari Kecamatan Batam, Kabupaten Kepulauan Riau. Wilayahnya termasuk juga pulau Sambu. Menurut Hartoyo, saat itu ibukota kecamatan Batam juga berada di Belakang Padang setelah perpindahan dari ibukota lama di pulau Buluh.
“Kehidupan kami tergantung pada Singapura. Pakaian, makanan, semuanya”, kata Hartoyo.
Oleh karena itu, warga di pulau Sambu, termasuk juga Belakang Padang, lebih familiar menggunakan mata uang dollar dan ringgit Malaysia daripada mata uang Rupiah.
Mata uang Rupiah dalam bentuk KRp (Kepulauan Riau Rupiah, pen) baru mulai dikenal warga di sini pada masa konfrontasi, saat pemerintah Indonesia mulai membiasakan warga di perbatasan seperti di pulau Sambu, untuk menggunakan mata uang negeri sendiri.
Sambu Pada Masa Konfrontasi
INDONESIA memiliki catatan sejarah pernah berkonfrontasi dengan Malaysia pada dekade 1960-an. Wilayah Batam dan sekitarnya, sempat dijadikan basis militer, sekitar tahun 1963-1966. Saat konfrontasi terjadi, pengelolaan kilang minyak di pulau Sambu langsung diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Hartoyo menuturkan, pada masa konfrontasi itu, warga di Sambu, Belakang Padang hingga pulau-pulau lain di sekitarnya, diminta menggali lubang perlindungan yang bisa digunakan jika terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak, yakni Indonesia dan Malaysia. Singapura pada masa itu masih berada dalam pengelolaan pemerintah kerajaan Malaysia yang menerapkan sistem federasi.
“Pada masa konfrontasi dengan Malaysia itulah pulau Sambu diambil alih oleh pemerintah Indonesia, kemudian dikelola oleh Permina (cikal bakal Pertamina, pen) sekitar tahun 1963”, kata Hartoyo.
“Dengan perkembangan waktu sebelum tahun 1970, Permina kemudian berubah menjadi Pertamina,” lanjut Hartoyo.
Pasukan KKO menurut Hartoyo, juga sempat menjadikan pulau Lengkana yang berada tidak jauh dari pulau Belakang Padang dan Sambu sebagai basis pertahanan. Warga dan karyawan yang berada di pulau Sambu, juga diminta untuk membantu membuat lubang sebagai tempat perlindungan jika sewaktu-waktu pesawat tempur Inggris menyerang.
Selain itu, wilayah Duriangkang juga dijadikan basis pertahanan dengan penempatan personil Angkatan Laut. Di wilayah Sekupang, Basis pertahanan diisi oleh personil KKO dan Sukarelawan.
Pada masa konfrontasi itu, merupakan pemandangan yang biasa bagi warga di sana saat pesawat-pesawat Inggris terus melintas langit dengan rendah. Ia juga melihat Pasukan KKO yang berada di gedung putih (sekarang Pos AL Pulau Sambu) di Belakang Padang, terus menembak ke udara dengan sasaran pesawat tempur Inggris.
” Tanjung Pinggir dan Sekupang juga dijadikan basis pertahanan. Meriam-meriam KKO sering terdengar menembak ,” katanya.
(*)
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Sumber : bintorosuryo.com
Photo cover : © Panca Bramasto
Photo-photo : © dokumentasi nas.gov.sg