By Bintoro Suryo – Ia sedang membenahi pelantar kayu yang menghubungkan rumahnya yang sederhana dengan laut di hadapan. Hanya ditemani seorang adiknya. Rahman, begitu ia biasa disapa orang. Usianya masuk 53. Sedari kecil, ia tak pernah berlayar jauh, selain di sekitar perairan Barelang.
Itu pun sebatas mencari ikan atau mengunjungi kerabat yang banyak terdapat di pesisir atau pulau-pulau kecil penyangga lain dari gugus Barelang yang kini dikenal seantero negeri. Tanjung Gundap , tempat tinggalnya, cuma dataran kecil yang agak menjorok ke laut, di ujung selatan Batam. Dari peta, lokasinya tidak begitu kelihatan, kecuali kita zoom hingga 500 feet di google map.
Beberapa pekan kemarin, saya singgah di sini bersama beberapa teman. Akses jalan menuju lokasi masih sulit. Jalannya belum diaspal, walau sudah ditimbun dengan tanah urug di sana sini. Namun begitu, sudah cukup lumayan lah karena bisa dilewati kendaraan roda empat seperti yang kami gunakan.
Daripada beberapa belas tahun lalu?
Kala akses darat ke lokasi kampung ini tidak ada dan warga di sana benar-benar bertumpu pada laut sebagai akses mereka.
Pelantar yang menghubungkan rumah Rahman ini dibangun sederhana menggunakan kayu sebagai tiang penyangga, sekaligus lantainya. Tiap beberapa bulan, ia mengganti kayu di beberapa bagiannya yang sudah lapuk termakan cuaca dan air laut.
“Saya generasi keempat dari keluarga yang tinggal di sini”, kata Rahman.
Dari cerita yang disampaikan turun temurun kepadanya, Tanjung Gundap ini awalnya dibuka dan dijadikan tempat tinggal oleh kakek buyutnya ratusan tahun lalu. Kakek buyutnya berasal dari pulau Panjang yang terletak di seberang lokasi ini.
Awalnya, merupakan daerah tanpa nama. Lazimnya orang zaman dulu, penyebutan lokasi atau tempat, biasanya hanya berdasar pada hal-hal lisan. Seperti menyebut lokasi dengan nama orang yang mendiami, sesuatu di sekitarnya yang dirasa unik atau dianggap menarik untuk disebut sebagai penanda tempat saat berkomunikasi untuk menunjukkan sebuah lokasi.
“Setahu saya, nama moyang, Rahmad. Nama kakek, Tembak. Jadi penyebutan lokasi berdasar nama saja. Ke tempat tinggal Tembak, misalnya”, lanjut pria ini menyebut kebiasaan orang dulu dalam menyebut nama lokasi.
Nama Gundap baru muncul dan mulai terbiasa digunakan untuk menyebut lokasi ini pada dekade 40-an. Kala itu, Jepang masuk menginvasi negeri jajahan Belanda ini, termasuk wilayah di sekitar perairan Barelang yang berdekatan dengan Singapura.
“Cerita Kakek, hampir tiap hari pesawat Jepang hilir mudik di atas langit karena zaman perang. Banyak warga resah karena takut terkena peluru atau bom sehingga mencari tempat aman untuk bersembunyi”, katanya.
Ngendap atau mengendap adalah kosa kata Melayu yang berarti sembunyi atau bersembunyi. Tanjung kecil di selatan Batam ini dianggap sebagai tempat yang aman untuk bersembunyi bagi warga pulau di sekitarnya kala pesawat-pesawat Jepang melintas. Lokasi Tanjung kecil ini masih ditumbuhi hutan bakau yang masih lebat, dulu.
Bukan hanya oleh warga Melayu yang mendiami pesisir Barelang dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Tapi juga oleh orang Tambus atau suku laut yang kesehariannya hidup di laut.
Jika warga pesisir bersembunyi di lokasi ini dengan mendirikan tempat-tempat tinggal sederhana di darat atau pelantar-pelantar kayu di pinggir laut, orang Tambus bersembunyi dengan cara menambatkan perahu yang jadi rumah tinggal mereka di antara rerimbunan hutan bakau yang masih cukup lebat saat itu.
Perbedaan lafal dan pengucapan saat menyebut ‘Ngendap’ di antara mereka, lambat laun memunculkan kata ‘Gundap’.
Interaksi Dengan Orang Tambus
ORANG Tambus adalah sebutan yang dikenal oleh warga di sekitar pulau-pulau Barelang (Batam – Rempang – Galang) dahulunya, untuk menunjuk pada kelompok warga yang hidup secara nomaden di sekitar perairan laut Barelang di Kepulauan Riau. Beberapa lainnya menyebut mereka sebagai orang Sampan.
Data di Kemdikbud menyebut mereka sebagai suku Laut (Sea Nomads) karena melakukan seluruh aktivitas kegiatan hidup di laut dan memfungsikan perahu atau sampan yang beratapkan sebuah kajang sebagai rumah mereka.
Mereka hidup berpindah dari pulau ke pulau hingga muara sungai (nomaden).
Di Kepulauan Riau dan Lingga, mereka juga dikenal juga sebagai Orang Pesukuan. Nama lain Orang Laut juga kadang mengacu kepada tempat dimana mereka sering beraktifitas. Misalnya Orang Mantang untuk mereka yang berada di sekitar perairan Pulau Mantang di Bintan. Orang Mapor untuk mereka yang mendiami sekitaran perairan Pulau Mapor, Lingga.
“Kalau di sekitar Batam sini, terutama yang sering datang ke Belakang Padang dan pulau Sambu, kami menyebutnya orang Tambus”, kata seorang tokoh lama masyarakat Batam, Hartoyo Sirkoen kepada saya.
Istilah suku Laut menurutnya, baru muncul sekitar awal dekade 80-an, dari istri Kepala Badan Pelaksana Otorita Batam saat itu, Sri Soedarsono. Sri dikabarkan sering mengunjungi dan membantu orang-orang Tambus dalam upaya meningkatkan kehidupan mereka.
Untuk menafkahi hidup, orang Tambus kala itu memang hanya terbiasa bergelut dengan kemampuan turun temurun yang mereka miliki ; mencari ikan dengan peralatan sederhana, seperti tempuling, tombak, dan serampang.
“Kalau sudah mau tujuh belasan (peringatan HUT RI, pen), seminggu sampai dua minggu sebelumnya, perahu-perahu mereka sudah berjajar di depan perairan depan Lang Laut. Mereka tidak tau baca tulis, tapi daya ingat mereka luar biasa. Mereka suka ikut dalam kemeriahan lomba-lombanya”, kenang Hartoyo.
Menurut Hartoyo, walau berkehidupan nomaden, orang Tambus cukup sering berinteraksi dengan warga di pesisir pulau-pulau Barelang. Bahkan hingga ke Belakang Padang dan Sambu yang terkenal sudah cukup modern di era 50 hingga 70-an saat Batam masih sepi.
Di antara sekian banyak interaksi dan lokasi yang kerap disinggahi oleh mereka, Tanjung Gundap adalah lokasi yang sangat sering mereka singgahi.
“Ada keramat besar di sana, paling besar di antara keramat-keramat lain yang dipercayai Atok-Atok moyang kami”, kata Amos, seorang keturunan orang Tambus atau suku laut yang kini menetap di kampung Tiangwangkang.
Lokasi tinggal Amos berhampiran tidak jauh dari Tanjung Gundap di sisi selatan Batam. Saya menemuinya beberapa waktu lalu, sebelum mengunjungi Rahman di Tanjung Gundap.
Amos sekarang menjadi ketua RT di sana dengan induk RW-nya berada di Tanjung Gundap. Ketua RW-nya adalah Rahman.
Menurut Amos, dalam kepercayaan animisme yang dulu dianut oleh pendahulunya, Tanjung yang berada di Gundap memiliki kekuatan mistis paling tinggi di antara tempat-tempat keramat lain yang sering dipercayai suku laut di sekitar kepulauan Barelang.
“Tiap beberapa waktu, Atok-Atok kami pasti ke sana, bawa pulut kunyit dan lainnya. Seperti sembahyang lah”, jelas Amos.
Ada batu besar di sana yang menurut Amos begitu dikeramatkan oleh suku laut pada masa silam. Lelaki yang kini memeluk Nasrani itu mengatakan, menjadi hal yang biasa bagi kaumnya di masa lalu untuk berdiam beberapa lama di wilayah perairan Tanjung Gundap.
“Ya, berinteraksi juga. Bahasa kurang lebih sama lah seperti kita, bahasa Melayu. Cuma logat yang agak berbeda”, kata Rahman kepada saya di lain waktu dan tempat.
Seringnya berinteraksi, membuat proses percampuran terjadi dari sisi budaya, kebiasaan dan juga kepercayaan. Saat ini menurut Rahman, ada sekitar 44 kepala keluarga (KK) dari suku laut atau orang Tambus yang sudah hidup menetap di Tanjung Gundap. Sebagian sudah beralih kepercayaan menjadi Nasrani. Sebagian lainnya memeluk Islam.
“Itu kediaman mereka sekarang”, kata Rahman sambil menunjuk kumpulan rumah panggung kayu sederhana yang terletak tidak jauh dari pelantar yang dibangunnya.
Pak Jantan, Suku Laut
LELAKI tua ini sudah berusia 85 tahun sekarang. Tapi perawakannya masih kokoh. Entah sudah berapa batang rokok yang diambil dari kotak di tangannya. Dibakar, kemudian diisap asapnya. Begitu terus saat ia ditemui dan diajak bicara.
Rumahnya hanya berjarak 100 meter saja dari kediaman sang ketua RW, Rahman. Agak menjorok ke laut dengan bertopang pada tiang-tiang kayu sebagai penyangga.
“Tahun 82 tinggal kat sini, ini”, kata pak Jantan saat ditanya kapan awal mula hidup menetap di darat.
Lelaki tua ini, mungkin jadi sedikit generasi orang Tambus atau suku laut yang masih sempat merasakan kehidupan berpindah-pindah di perairan Barelang. Tinggal di rumah sampan beratap kajang.
Saat musim atau cuaca sedang tidak bagus, pak Jantan muda dan keluarga, biasanya akan mencari perairan atau muara sungai untuk berlindung dari terpaan musim. Tapi sekarang, ia lebih tenang karena sudah memilih untuk menetap. Walau di rumah yang sangat sederhana.
“Saye dah pegi kemane-mane begitu tinggal kat darat ni, cuma jekarte yang belum. Belum Ade yang ngajak saye ke sane”, ujarnya menerawang saat ditanya pengalamannya bertemu orang baru setelah keputusannya menetap di darat hampir 40 tahun lalu itu.
Ada beberapa hal masa kecil dan mudanya saat hidup di laut yang masih dilakukannya hingga sekarang.
“Nombak ikan, berburu. cuma itu yang saye bise. Nak buat ape lagi”, tuturnya polos.
Walau sudah berusia 85 tahun, pria itu masih suka ke laut untuk mencari ikan.
Kisah Para Batin
PEMIMPIN dalam sebuah kelompok, wilayah atau komunitas, selalu ada sejak zaman silam. Contohnya di kepulauan Riau. Selain kisah para raja dan bangsawan di masa kesultanan Riau, ada juga pemimpin wilayah di kelompok masyarakat yang lebih kecil.
Mereka disebut ‘Batin’. Diambil dari para tokohnya yang biasa memiliki ilmu kebatinan lebih tinggi di antara yang lain. Para Batin adalah mereka yang dituakan secara keilmuan. Seperti halnya Raja atau Sultan, posisi Batin di suatu wilayah, biasanya diwariskan secara turun temurun.
Selain pemerintahan pada skala besar berupa Kesultanan, di berbagai daerah di Kepulauan Riau juga tumbuh kesatuan masyarakat politik dengan bentuk pemerintahan adat yang
memiliki otonomi.
Pemerintahan adat ini bahkan terus hidup dan diakui pada masa awal penjajahan Belanda.Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama Marga atau Batin.
Hal itu diatur menurut Ordonansi Desa 1906.
Di wilayah yang maju berdasarkan ordonansi itu, ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum, pengadilan, kepolisian, dan sumber keuangan. Pemerintahan adatnya juga dibantu oleh juru tulis dan Kepala Pesuruh Marga atau Batin.
Rahman, Ketua RW Tanjung Gundap yang saya temui juga mengakui adanya Model pemerintahan adat seperti itu pada masa silam.
Walaupun tidak sama persis karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah, secara umum pemerintahan oleh para Batin dikenal oleh masyarakat Kepulauan Riau, bahkan hingga ke Riau dan Jambi.
“Batin terakhir yang saya ingat di sekitar sini, namanya Batin Bidin”, kata Rahman.
Pada perkembangan selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia, secara umum, pemerintahan oleh para Batin ini mulai diubah menjadi pemerintahan Desa.
Walau begitu menurut Rahman, model dan tata cara pengelolaannya, masih banyak yang mengadopsi pemerintahan batin. Misalnya tentang penetapan para pemimpinnya yang tetap didasarkan pada orang yang memiliki keilmuan/ batin lebih tinggi dan keturunannya untuk memerintah dan dijalankan dengan landasan adat Melayu-Islam.
“Model seperti itu masih ada di sini sampai pemerintahan zaman orde baru, pak Soeharto. Setelah pak Soeharto itu, tak ada lagi, diganti menjadi lurah. Pemimpinnya dikirim (ditunjuk, pen) oleh pemerintah,” terang Rahman.
*)
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Sumber : bintorosuryo.com