By Socrates – Siapa sangka, Batam yang dulu salah satu pulau yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Belakangpadang, kini jadi kota metropolis dan paling maju di Provinsi Kepulauan Riau.
Batam dijuluki pusat pertumbuhan ekonomi regional, lokomotif pembangunan ekonomi Indonesia atau sebagai The Gateway of New Indonesian atau New Indonesian Start of Batam. Kini, Batam mendapat julukan baru: New City.
Lokasi Batam sangat strategis. Hanya 20 kilometer dari Singapura. Tapi, luas Batam hanya 415 km2 atau hanya 67 persen luas Singapura.
BJ Habibie menjadi Ketua Otorita Batam selama 1978 sampai 1998. Ia melontarkan teori balon. Suatu saat, lahan di Singapura bakal penuh dan habis. Saat itulah, Batam jadi pilihan investasi. Habibie, menteri super di era Orde Baru itu, punya gagasan jauh ke depan. Jika ‘balon’ Singapura meletus, perlu lahan yang lebih luas. Habibie mulai memikirkan menyatukan Pulau Batam, Rempang dan Galang dengan jembatan. Ternyata, bukan Singapura yang penuh, tapi Batam.
Dari dulu, konsep pembangunan Batam dilakukan per wilayah.
Antara lain, wilayah Sekupang, fungsi utama Industri 175 hektar, pelabuhan laut, PLTD, dam Sei Ladi dan Sei Harapan, perumahan dan rekreasi. Wilayah Tanjunguncang, fungsi utama industri 372 hektar dan perumahan. Batuampar untuk industri 372 hektar, pelabuhan laut dan Dam Baloi serta pemukiman.
Wilayah Mukakuning, fungsi utama hutan lindung, WTP Muka-kuning, catchment area dan industri. Wilayah Nongsa fungsi utama pariwisata 1.192 hektar, WTP Nongsa dan perumahan.
Wilayah Kabil, fungsi utama Bandara Hang Nadim, PLTD, industri 731 hektar dan pelabuhan laut. Wilayah Tanjungpiayu,fungsi utama Dam dan WTP Duriangkang, cacthment area dan perumahan. Wilayah Batam Centre, fungsi utama Industri 38,7 hektar, pusat jasa dan perkantoran serta perumahan.
Kawasan Rempang dan Galang yang kini jadi pusat perhatian, sudah dikonsep dengan fungsi utama industri 694,26 hektar, pariwisata 678 hektar dan pertanian seluas 2161,58 hektar.
Maka, melalui Keppres nomor 28 tahun 1992, wilayah kerja Otorita Batam diperluas meliputi Pulau Batam, Rempang dan Galang serta 39 pulau kecil di sekitarnya yang disebut Barelang. Ini sebagai antisipasi kebutuhan lahan di masa depan.
Pada tahun 1993, Otorita Batam menggandeng Lembaga Teknologi Universitas Indonesia, menyusun Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Rempang dan Galang. Menurut RUTR di Pulau Rempang dan Galang akan dikembangkan industri ringan bebas polusi serta industri perangkat lunak (software).
Enam tahun, dari 1992 sampai 1998, enam jembatan yang menyambung dan menyatukan Pulau Batam, Tonton, Nipah, Setoko, Rempang, Galang dan Galang Baru, selesai dengan biaya Rp370 Miliar.
Rempang dan Galang hanya berjarak 2,5 km dari Batam. Sedangkan lahan yang disediakan di kedua pulau masing-masing adalah 16.838 hektar dan 8.550 hektar. Inilah keunggulan kompetitif Pulau Rempang dan Pulau Galang yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia.
Ada yang menyebutkan, ide Habibie membangun jembatan Barelang yang diambil dari singkatan nama Batam, Rempang, Galang, saat presiden RI ke 3 itu naik pesawat dan terbang di langit Batam. Pada saat meresmikan Jembatan Barelang pada tanggal 10 Agustus 1998, Habibie bercerita, ia naik speed boad mengunjungi pulau-pulau di Rempang dan Galang. Speed yang ditumpanginya bocor.
Dengan kejeliannya, ia melihat pulau-pulau seperti Rempang, Galang, Tonton, Nipah dan Galang Baru, bisa disatukan dengan jembatan.
’’Saya dan Ibu Ainun serta rombongan, kami naik speed boat dan bocor. Saat itulah saya dapat ide membangun jembatan,’’ kata Habibie, sambil melirik istrinya, saat itu.
Pertanyaannya, saat Rempang dan Galang dimasukkan ke wilayah kerja Otorita Batam yang notabene saat itu adalah wilayah Propinsi Riau, apakah pulau ini kosong?
Dari berbagai catatan dan liputan media, Pulau Rempang sudah dihuni suku asli, diungkapkan ahli bahasa dari LIPI Drs Kridalaksana dan Drs Zulkarnaen. Suku terasing itu disebut suku Utan atau Orang Darat (TEMPO, 28 Juni 1975).
Controleuer Onderafdeeling Tanjungpinang P Wink pernah mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang, tanggal 4 Februari 1930.
Dedi Arman, peneliti pusat riset kewilayahan Badan Riset Inovasi Nasional yang juga mantan wartawan, menulis buku yang berjudul ‘Orang Darat Pulau Rempang, Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam’.
’’Sejak dulu, penduduk Pulau Rempang sudah ramai, terutama di Rempang Cate dan Sembulang. Ada orang Melayu, Tionghoa dan Orang Darat,’’ tulis Dedi Arman.
Mengapa warga Rempang tidak dilibatkan dalam menyusun rencana tata ruang Rempang? Seperti apa sudut pandang pemerintah pusat yang memiliki perpanjangan tangan Otorita Batam yang kini ganti nama menjadi BP Batam?
(*)
(bersambung)
[…] Artikel ini terbit pertama kali di : socratestalk.com […]