LAZIMNYA bocah kecil seusianya, Muljadi suka bermain-main dengan teman sebaya di Selatpanjang. Ia biasa berkumpul dan bermain bersama temannya sampai menjelang senja. Lokasi favoritnya adalah di sebuah lapangan kecil di jalan Merdeka, kota Selatpanjang, dekat tugu Bangkung dan tidak jauh dari telaga Bening serta taman cik Puan. Sekarang dikenal dengan nama Independent Square.
Pada masa revolusi kemerdekaan, rakyat di Selatpanjang mengibarkan bendera merah putih pertama kali di lokasi ini. Tepatnya pada 17 Oktober 1945 atau dua bulan setelah proklamasi dikumandangkan di Jakarta. Lokasi yang dulunya sempat jadi kantor wedana zaman kolonial itu, kini menjadi lokasi bersejarah.
Saking asyiknya bermain, Muljadi kecil sering lupa waktu. Tak jarang, ia dicari ibu dan keluarga, dipanggil pulang ke rumah lantaran hari mulai gelap. Melihat kelakuan dan kenakalannya, sang ibu Lie Jaun, mulai khawatir, terutama soal pendidikannya. Sang ibu kemudian memaksa Muljadi yang kala itu berusia 6 tahun untuk mulai belajar menulis dan berbahasa Mandarin. Ilmu yang sangat berguna baginya kelak. Termasuk saat ia menuangkan seluruh kisah hidupnya dalam catatan berbahasa mandarin di usia senjanya.
Pelajaran bahasa Mandarin di sekolah-sekolah Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun, mengalami pasang surut. Diperbolehkan, lalu dilarang kemudian diperbolehkan kembali. Sebagian generasi Tionghoa yang lahir di bumi nusantara, tidak bisa berbahasa dan menulis Mandarin. Begitu juga dengan Muljadi, pada awalnya. Namun, berkat didikan keras sang ibu, ia akhirnya bisa menulis dan berbahasa Mandarin.
Sejak kecil, Muljadi adalah seorang yang kidal. Anak atau orang kidal lebih banyak menggunakan tangan kiri untuk kegiatan sehari-hari. Seperti menulis, menggambar, memegang sendok saat makan dan menendang bola. Namun, saat awal belajar, Muljadi kecil dipaksa menulis dengan tangan kanan. Sesuatu yang sulit dilakukannya. Ia kemudian memberontak dan lebih memilih menggunakan sisi kiri untuk berbagai hal di kesehariannya.
Ia akhirnya dimasukkan ke Sekolah Dasar oleh ibunya di usia enam tahun di kota Selatpanjang. Meski sudah mulai bersekolah, kenakalan Muljadi bukannya berkurang, malah makin menjadi-jadi. Ibunya Lie Jaun, kadang tidak sabar dan memukulnya. Kondisi keluarga, terutama ayahnya, membuat tekanan psikologis terhadapnya. Muljadi kecil tumbuh menjadi anak yang nakal.
Pada usia 8 tahun, kondisi ekonomi keluarganya juga makin sulit, Muljadi dan keluarga harus pindah dari tempat tinggal lamanya dan menumpang tinggal di rumah pamannya. Ia makan, tidur dan mandi bersama saudara-saudara sepupunya. Di tempat tinggal yang baru, sang ibu tetap menjadi tulang punggung keluarga dengan menerima upah menjahit serta berjualan barang kebutuhan harian warga.
Suatu hari, ibunya sedang berada di toko. Ada beberapa orang asing yang datang melihat-lihat. Saat itu, Muljadi kecil sedang mandi telanjang di belakang rumah. Tiba-tiba, Muljadi berlari ke depan toko, sambil telanjang. Tangannya membawa pistol-pistolan yang berisi air. Pistol air itu, langsung ditembakkannya dan disemprotkan kepada orang asing itu. Kebiasaan bermain-main dengan air dan menyemprotkannya ke yang lain, ternyata sudah menjadi budaya bagi warga di Selatpanjang. Kelak di kemudian hari, warga etnis Tionghoa di sana akhirnya memiliki perayaan khusus yang dikenal dengan “Perang Air” dan dilakukan tiap perayaan tahun baru Imlek.
“Saya teringat suatu kejadian di usia 8 tahun. Saya tembak orang asing itu dengan pistol air. Tapi ia tidak marah, malah memeluk saya dengan hangat,” kenangnya. Sang ibu, hanya mengelus dada melihat kelakuan anaknya. Ia tahu, kondisi keluarga berpengaruh kuat terhadap karakter dan sikap Muljadi kecil.
Seiring bertambahnya usia, Muljadi akhirnya mulai berubah. Saat naik ke kelas 5 Sekolah Dasar, ia mengaku mulai menyadari tentang perjuangan sang ibu untuk menghidupi keluarganya. Pengorbanan, cinta kasih ibu pada saat kehidupan mereka sangat sulit, membuat Muljadi akhirnya jadi rajin belajar. Ia juga mulai mengurangi aktifitas bermain-main bersama teman sebaya. Hasilnya, Muljadi kecil mendapat ranking satu di kelasnya. Itu berkelanjutan hingga ia menamatkan jenjang sekolah dasarnya.
“Setiap hari sepulang sekolah, saya langsung mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan guru, begitu selesai kemudian menemani ibu bekerja. Tidak bermain atau keluyuran lagi”, kenangnya haru di catatannya.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Masa Kecil Muljadi 1945 – 1958 | ‘Masa Kecil & Kisah Keluarga‘ – MENEROBOS WAKTU… […]