KAKEK Lim Qi Hui atau Muljadi, Lim She Tun adalah seorang pengusaha di Selatpanjang pada zamannya. Ia memiliki usaha perkebunan karet, sagu, pabrik tepung sho hun serta real estate. Lim She Tun diketahui memiliki empat orang anak laki-laki. Ayahnya, Lim Kim Seng adalah yang paling bungsu.
Pada tahun 1938 Lim She Tun meninggal dunia. Usahanya diteruskan oleh paman-paman dan ayahnya, Lim Kim Seng, yang saat itu masih lajang. Usaha keluarga itu adalah memasarkan produksi karet, sagu dan tepung sho hun sampai ke Singapura.
Pada awal 1940, Lim Kim Seng menikahi wanita pujaan hatinya di Selatpanjang, Wong Pu Ting. Ia sangat mencintai istrinya. Namun, malang tak dapat ditolak. Istri Lim Kim Seng, Wong Pui Ting meninggal dunia saat melahirkan anak mereka pada 27 April 1941. Bayi laki-laki hasil pernikahan di biduk rumah tangga bersama Wong Pui Ting tersebut, kemudian diberi nama Lim Qi Siong (Abang Lim Qi Hui/ Muljadi, beda ibu).
Lim Kim Seng patah semangat pask kepergian isteri tercintanya. Usahanya yang merupakan usaha terusan dari sang ayah menjadi terbengkalai. Akibatnya, Lim Kim Seng kehilangan usaha, rumah dan bahkan aset. Kepergian sang istri benar-benar menimbulkan rasa sedih yang sangat mendalam bagi pria itu. Ia frustrasi dan karaketer temperamennya berubah total. Sejak itu, ia ketagihan meminum minuman keras, sebagai pelarian kekecewaan hatinya.
Ibu Lim Kim Seng risau. Ia berusaha memberi semangat dan mencarikan pasangan hidup untuk anaknya, yang tidak bisa melupakan kepergian istrinya, selama-lamanya. Sang ibu, kemudian menjodohkan Lim Kim Seng dengan putri saudaranya. Meski Lim Kim Seng akhirnya menurut dan menikahi wanita tersebut atas desakan ibunya, ternyata setelah menjadi suami istri, Lim Kim Seng tidak bisa mencintai sepenuh hati. Ia malah jarang pulang ke rumah.
Waktu terus berlalu. Lim Kim Seng kemudian berkenalan dengan seorang wanita lain bernama Lie Jaun (kelak menjadi ibu yang melahirkan Lim Qi Hui/ Muljadi). Wanita kelahiran Singapura, 15 Juni 1926 itu, pindah dan menetap di Selatpanjang sejak berumur 7 tahun. Keduanya kemudian saling menyukai. Meskipun saat itu kondisi ekonomi Lim Kim Seng tidak begitu baik karena trauma masa lalu kehilangan istri pertama, bagi Lie Jaun, hal itu tidak menjadi soal. Lim Kim Seng dan Lie Jaun akhirnya menikah dan menjadi pernikahan ketiga bagi pria itu.
‘’Ayah saya, dalam perjalanan hidupnya, menikah dengan tiga orang wanita sebagai istrinya,’’ tulis Lim Qi Hui atau Muljadi dalam catatannya.
Kondisi sulit Lim Kim Seng paska pernikahannya yang ketiga juga diperburuk dengan situasi politik dunia yang sedang tidak menentu. Jepang bertekuk lutut kalah dalam perang dunia kedua. Negeri baru bernama
Indonesia akhirnya lahir dan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, tepat di saat anak pertama dari pernikahannya yang ketiga lahir. Lim Qi Hui alias Muljadi adalah anak pertama pasangan ini. Setelah itu, adik-adik saudara kandung seayah dan seibunya lahir. Berturut-turut kemudian Lim Kie Hong, Lim Pek Luan dan Lim Pek Yong. Ttal ada empat anak yang lahir dari pernikahan Lim Kim Seng dengan isteri ketiganya, Lie Jaun. Dua anak laki-laki, dan dua anak perempuan.
Walau sudah membina rumah tangga untuk yang ketiga kalinya, duka atas kehilangan isteri pertama tak kunjung sembuh. Kesedihan Lim Kim Seng, ayah Muljadi, terus berlarut-larut. Saban hari, ia mabuk-mabukan sebagai bentuk pelarian. Sementara, keluarganya terabaikan.
Sejak awal menikah dengan Lie Jaun, kondisi keluarga ini sebenarnya sudah sulit. Namun, Lie Jaun adalah tipikal wanita tangguh. Mau tidak mau, ibu Muljadi, Lie Jaun, turun tangan mencari nafkah untuk menghidupi dan membiayai keluarganya. Dengan empat anak yang masih kecil-kecil. Lie Jaun bekerja menerima upah menjahit pakaian. Upah jahitan yang tidak seberapa, digunakan untuk biaya hidup keluarganya.
Selain menjahit, wanita itu juga membuka toko kecil yang menjual barang-barang kebutuhan warga di sekitar Selatpanjang. Pengorbanan, kerja keras, ketulusan dan perjuangan di masa-masa sulit sang ibu, sangat membekas di hati Muljadi sampai bertahun-tahun kemudian.
“Ayahku belum bisa menghilangkan kesedihan karena kehilangan istri pertamanya yang meninggal dunia.Harta warisan dari kakek habis. Ia mabuk setiap hari. Ibu menjadi tulang punggung keluarga, bagiku dan adik-adikku”, tulis Muljadi di catatannya.
Tahun 1948, saat Muljadi berusia tiga tahun, neneknya meninggal dunia. Saat itu, Muljadi yang baru berusia 3 tahun, dibawa ibunya pergi ke Singapura menggunakan perahu. Mereka bermaksud mencari pamannya yang tinggal di sana untuk memberi tahu kabar duka tersebut. Di Singapura, Muljadi kecil kagum dan terkesan melihat kota Singapura yang begitu modern pada masanya. Jauh berbeda dengan kota tempat tinggalnya di Selatpanjang.
Beberapa hari di Singapura, Muljadi dan ibunya kemudian pulang kembali ke Selatpanjang.Ia tidak menyangka bahwa suatu hari bakal Kembali ke negara itu dan tinggal di sana dalam kehidupan dan kondisi yang sama sekali berbeda, puluhan tahun kemudian.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Kisah Keluarga Muljadi di Selatpanjang | ‘Masa-Masa Kecil & Kisah Keluarga‘ – MENEROBOS WA… […]